Perkampungan Suku Lampung Di Banten Lahir Dari Ikrar Persaudaraan


(Jika ada musuh Banten, Lampung yang akan menghadapi dan Banten mengikuti. Dan jika ada musuh Lampung, Banten yang akan menghadapi dan
Lampung mengikuti)

Petikan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) ini salah satu bukti kuatnya persahabatan masyarakat Banten dan Lampung. Persahabatan yang sudah berumur 400 tahun lebih inilah yang melahirkan sebuah perkampungan suku Lampung yang akrab disebut Lampung Cikoneng atau Cikoneng, di Kecamatan Anyer, Kabupetan Cilegon, Propinsi Banten. Tepatnya di Jalan Raya Anyer kilometer 128-129.

Tidak terlalu susah menuju tempat ini. Dari Pelabuhan Merak kita bisa turun di Simpangan Anyer Cilegon. Dari situ kita hanya perlu ongkos Rp 2000, naik oplet sampai Cikoneng dengan jarak tempuh setengah jam.

Cikoneng terbagi menjadi empat, Kampung Tegal, Kampung Bojong, Kampung Cikoneng dan Kampung Salatuhur. Keempatnya secara administratif berada dalam satu pemerintahan desa, Desa Cikoneng. Dengan 11 RT dan 618 KK yang menempati areal seluas 18 hektare. Secara geografis Cikoneng terletak di bentangan Pantai Anyer Selatan. Jika diamati tipikal lokasinya, memang sama dengan yang disukai kebanyakan suku Lampung yakni dekat dengan pantai atau di pedalaman yang dekat aliran sungai.

Tingkat ekonomi masyarakatnya sebagaian besar cukup sejahtera. Hanya sekitar 25 persen yang masuk kategori prasejahtera. Nelayan dan petani adalah profesi yang secara umum digeluti warga Cikoneng. Walaupun sektor pertanian hanya bisa panen satu kali dalam setahun. “Maklum di sini tidak ada irigasi, jadi untuk pertanian, ya tadah hujan,” tutur H Yakub, Lepala Desa Cikoneng dalam perbincangan dengan Teknokra di kantornya, Jalan Raya Anyer kilometer 128 Kampung Salatuhur.

Kini, saat kita menjejakkan kaki di perkampungan Cikoneng, kesan perkampungan Lampung memang seperti tak tampak. Semua terkesan biasa saja. Perumahan penduduk yang padat, permanen dan jauh dari kesan kumuh. Setelah menjelajah hampir separuh perkampungan, Teknokra tak menemui satu pun bukti kuat, seperti rumah panggung ataupun Siger Lampung di atap rumah penduduk.

Annah (39th), seorang pemilik warung kecil di ujung jalan Kampung Cikoneng mengakui walaupun menurut almarhum bapaknya ia masih punya keluarga di Kalianda tapi sejak lahir ia belum pernah ke Lampung. Apalagi menyaksikan adat Muli Mekhanai (bujang-gadis), adat Sebambangan (larian) atau ramainya pesta tujuh hari tujuh malam pada waktu resepsi pernikahan adat Lampung.

Gelombang perubahan memang terjadi di sana. Di era tahun 40-an, pembauran antar suku mulai dirasakan. Banyak para pendatang baru ke Cikoneng. “Mereka kebanyakan berasal dari suku Jawa dan Sunda,” ungkap H Yakup. Meskipun begitu proporsinya masih didominasi suku Lampung, sekitar 75 banding 25 persen.

Pada tahun 1958 Kampung Cikoneng menjadi sasaran bumi hangus pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo yang melumat habis Kampung Cikoneng beserta isinya. Kemudian di pertengahaan 70-an, kawasan Pantai Anyer yang ada di sepanjang perkampungan menjadi incaran invsetor Jakarta. Alhasil seperti terlihat Teknokra, nyaris tidak ada pantai yang bebas dan gratis. Semuanya dikapling oleh hotel-hotel maupun resort.

Hanya Bahasa

Walaupun begitu warna Lampung tak semuanya hilang. Bahasa mungkin satu bukti sejarah yang hingga kini masih lestari. Jangan heran kalau kita menyaksikan seluruh penduduk mulai dari orang tua sampai anak kecil biasa menggunakan bahasa Lampung. Misalnya Ilham (7) ketika mengantarkan Teknokra ke rumah H Agus Rasyidi, salah satu tokoh masyarakat Cikoneng, cakap berbahasa lampung, pun sama dengan teman sebaya yang mengikutinya.

Kebanggaan lain, justru masyarakat pendatang banyak mengikuti budaya mereka. Berlawanan dengan suku asalnya di Lampung yang justru tak mampu mempertahankan budaya asli dari budaya luar. “Mereka (warga pendatang,red) malah yang membaur dengan kami, terutama bahasanya,” tutur H Hasyim, tokoh masyarakat Kampung Salatuhur.

Namun bahasa lampung Cikoneng memang berbeda dengan bahasa Lampung di daerah asalnya. Bahkan sampai saat ini masih belum teridentifikasi dari dialek mana. Dan masuk akal memang, sebab menurut cerita, kedatangan rombongan warga Lampung ke Cikoneng berjumlah 40 kepala keluarga dari sembilan buai (marga,red). Menurut H Hasyim, kemungkinan besar hal ini yang membuat bahasa lampung di Cikoneng terdengar sedikit aneh ditelinga. “Kadang terdengar dialek api, di tengah percakapan tau-tau belok ke dialek nyow,” ujar Hasyim.

Usaha-usaha pelestarian budaya memang digalakkan. Pada 21 Agustus 1999 lalu, Cikoneng secara resmi menjadi bagian dari Organisasi Lampung Sai Wilayah khusus Pakpekon (empat kampung) yang saat ini diketuai H Agus dengan gelar Pemuka Pati. Beberapa penelitian pernah dilakukan oleh peneliti dari Universitas Pendidikan Bandung dan kabarnya ada peneliti dari FKIP Bahasa dan Sastra Universitas Lampung hendak meneliti unsur bahasa lampung Cikoneng.

Epik Sejarah

Embrio Cikoneng ditandai dengan ikrar saling membantu menjaga kedaulatan dan syiar Islam antara Pangeran Saba Kingking dari Kesultanan Banten dengan Ratu Darah Purih dari keratuan Lampung pada abad ke-16. Ikrar itu tertulis dalam sejarah Babat Kuripan dengan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) yang ditulis dalam bahasa Jawa Banten. Realisasi Dalung Kuripan berlanjut pada penaklukan kerajaan Padjajaran, Kedaung, Kandang Wesi, Kuningan dan terakhir daerah Parung Kujang oleh prajurit dari Keratuan Lampung. Penaklukan daerah Parung Kujang (sekarang Kabupaten Sukabumi) terjadi pada abad ke-17, satu abad sesudah peristiwa Dalung Kuripan, menjadi janin keberadaan Cikoneng.

Pada waktu penaklukan Parung Kujang, Keratuan Lampung tidak diketahui sedang dipimpin oleh siapa. Sebab kerajaan Lampung waktu itu ada dua, Kuripan (Kalianda) dan Tulang bawang (Menggala). Tetapi saat itu Kesultanan Banten diketahui sedang berada dalam pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Keratuan Lampung mengirimkan empat orang prajurit kakak beradik, yaitu Menak Gede, Menak Iladiraja, Menak Sengaji dan Menak Parung.

Setelah keempat utusan datang ke Kesultanan Banten dan melapor, Sultan Agung nampak kecewa karena jumlahnya hanya empat, padahal biasanya 40 prajurit. Akan tetapi keraguan Sultan Agung dapat ditepis, setelah keempat prajurit itu dengan taktik tipu muslihatnya mengalahkan pasukan Parung Kujang. Kisah penaklukan itu sampai kini terkenal dengan cerita rakyat Cikoneng, Taktik Manusia Kerdil dan Baju Dendeng.

Karena kesuksesan keempat prajurit Keratuan Lampung ini, Sultan Agung akhirnya mengangkat Menak Gede sebagai adipati di Kerajaan Banten. Namun setelah satu tahun menjabat, Menak Gede Meninggal dunia. Jabatan Adipati pun diserahkan kepada adiknya, Minak Iladiraja. Ia pun mengalami nasib yang sama, wafat setahun kemudian. Sayang, makam kedua kakak beradik itu tidak pernah diketahui sampai saat ini.

Sepeninggalan Menak Iladiraja, Menak Sengaji dipanggil Sultan untuk menggantikan Menak Iladiraja. Akan tetapi Menak Sengaji tidak langsung menerima jabatan itu. Ia meminta syarat mau diangkat menjadi adipati di luar daerah kekuasaan kakaknya. Menak Sengaji ingin daerah Banten bagian barat, daerah yang langsung berhadapan dengan daerah leluhurnya. Ia juga meminta dibolehkan membawa saudara-saudaranya dari Lampung.

Syarat itu diluluskan Sultan Agung. Malahan Sultan Agung memberi Menak Sengaji hak kepemilikan atas selat sunda termasuk Pulau Sangiang dan tanah sepanjang pesisir Selat Sunda, mulai dari Tanjung Purut (Merak) sampai ke Ujung Kulon. Dari Tanjung Purut ke pedalaman hingga ke Gunung Panenjuan (Mancak) dan terus membentang ke arah barat mencapai Gunung Haseupuan berakhir di Ujung Kulon.

Setelah persetujuan itu, berangkatlah Menak Sengaji membawa 40 kepala keluarga yang terdiri dari sembilan buai, di antaranya Buai Aji, Arong, Rujung, Kuning, Bulan, Pandan, Manik dan Besindi. Pertama kali datang, kemungkinan terbawa arus timur, rombongan Menak Sengaji terdampar di teluk perak. Akhirnya rombongan beristirahat tidak jauh dari teluk, tempat itu kemudian diberi nama Kubang Lampung, artinya tempat mendarat kumpulan warga Lampung di Banten.

Setelah mengalami tiga kali perpindahan tempat rombongan Menak Sengaji sepakat menempati kawasan pantai Anyer yang dulu bernama Alas Priuk dan pelabuhannya dinamai Pelabuhan Priuk. Kemudian mereka mendirikan pemukiman lampung yang diberi nama Kampung Bojong. Berputarnya roda waktu jumlah 40 KK itu beranak pinak, Kampung Bojong dimekarkan menjadi empat kampung yaitu Kampung Bojong, Kampung Cikoneng, Kampung Tegal dan terakhir Kampung Salatuhur.

Ada cerita menarik, ketika rombongan ini sedang membuat kampung Salatuhur, Sultan Ageng tiba-tiba datang berkunjung. Kampung Salatuhur belum memiliki nama waktu itu. Dengan segera Menak Sengaji lalu meminta Sultan untuk memberi nama. Karena waktu sudah masuk waktu salat Zuhur, diberilah nama Kampung salat Zuhur dan karena perkembangan bahasa, kini ejaannya berganti menjadi Kampung Salatuhur.

Masih di Kampung Salatuhur, Sultan Ageng mengajak untuk salat Zuhur berjamaah. Tapi sial, kampung belum memiliki sumur untuk mengambil air wudu. Kemudian Sultan berdiri dan berjalan ke suatu tempat lalu menancapkan tongkatnya. Setelah dicabut bekas tancapan itu mengeluarkan air (versi lain mengatakan Sultan menunjuk suatu tempat dengan tongkatnya untuk digali menjadi sumur). Tapi yang jelas, mata air itu masih utuh hingga kini dan terkenal dengan nama Sumur
Agung, berdiameter kira-kira dua meter.

Yang disayangkan semua cerita asal muasal perkampungan Cikoneng, hanya didapat dari para orang tua mereka yang mewariskan dari mulut ke mulut. “Saya sih dapat semua cerita ini dari orang tua, orang tua juga dari orang tuanya, turun-temurun gitu, kalau ditanya bukunya, ya nggak ada,” tutur H Hasyim yang juga masih keturunan ke delapan Menak Sengaji mengakhiri perbincangan dengan Teknokra.

Meskipun begitu, bukan berarti tak ada bukti sejarah. Selendang Cinde Wulung milik Ulubalang Raden Japati yang konon mampu mengeluarkan kilatan api dan menangkis tembakan meriam Belanda, kini diwarisi H Agus. Baju Antakusuma yang diwarisi H Hasyim, Sumur Agung yang terletak sepuluh meter di belakang kediaman H Hasyim dan Makam Menak Sengaji yang berada di pinggir Jalan Raya Anyer, Kampung Cempaka, Desa Anyer Kecamatan Anyer adalah saksi sejarah yang
masih bisa kita saksikan

 

Tinggalkan komentar