MAKNA YANG TERDAPAT PADA SISTEM PERALATAN GONDANG BATAK TOBA (2-Habis)

syarat-Syarat pemain Gondang Sabangunang1

 

Para pemain instrumen-instrumen yang tergabung dalam komunitas gondang, disebut pargonsi. Biasanya, sebagian besar warga masyarakat Batak Toba tertarik mendengar alunan suara yang dikeluarkan oleh gondang sabangunan tersebut, tetapi tidak semuanya mampu memainkan alat-alat tersebut apalagi mencapai tahap pargonsi. Hal ini disebabkan karena adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat menjadi seorang pargonsi.

Syarat-syarat tersebut seperti yang dikemukakan seorang ahlinya, antara lain:

  1. Harus mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta). Sahala ini merupakan berkat kepintaran khusus dalam memainkan alat musik yang diberikan kepada seseorang sejak dalam kandungan. Dengan kata lain orang tersebut sudah dipersiapkan untuk menjadi seorang pargonsi sebagai permintaan Mula Jadi Na Bolon.
  2. Melalui proses belajar

Seseorang dapat menjadi pargonsi, dengan adanya berkat khusus yang diberikan Mulajadi Na Bolon sekaligus dipadukan dengan proses belajar. Sehingga itu seseorang memiliki ketrampilan khusus untuk dapat menjadi pargonsi. Walaupun melalui proses belajar, tetapi jika tidak diberikan sahala kepada orang tersebut, maka ia tidak berarti apa-apa atau tidak menjadi pargonsi yang pandai.

  1. Mempunyai pengetahuan mengenai ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan dalam adat), maksudnya mengetahui struktur masyarakat Batak Toba yaitu Dalihan Na Tolu dan penerapannya dalam masyarakat.
  2. Umumnya yang diberkati Mulajadi Na Bolon untuk menjadi seorang pargonsi adalah laki-laki, dengan alasan :

􀂾 Laki-laki merupakan basil ciptaan dan pilihan pertama Mulajadi Na Bolon.

􀂾 Laki-laki lebih banyak memiliki kebebasan daripada perempuan, karena para pargonsi sering diundang memainkan ke berbagai daerah ununtuk memainkan gondang sabangunan dalam suatu upacara adat.

  1. Seseorang yang menjadi pargonsi harus sudah dewasa tetapi bukan berarti harus sudah menikah.

 

  1. Pemain Musik Gondang Sabangunan

Seperti yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya, bahwa keseluruhan pemain yang menggunakan instrumen- instrumen dalam gondang sabangunan disebut pargonsi. Dahulu, istilah pargonsi ini hanya diberikan kepada pemain taganing saja, sedangkan kepada pemain instrumen lainnya hanya diberikan nama sesuai dengan nama instrumen yang dimainkannya, yaitu pemain ogling (parogung), pemain hesek dan pemain sarune (parsarune).

Dalam konteks sosial, pargonsi ini mendapat perlakuan yang khusus. Hal ini didukung oleh adanya prinsip stratifikasi yang berhubungan dengan kedudukan pargonsi berdasarkan pangkat dan jabatan.

Sikap khusus yang diberikan masyarakat kepada pargonsi itu disebabkan karena seorang pargonsi selain memiliki ketrampilan teknis, mendapat sabala dari Mulajadi Na Bolon, juga mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat/sendi-sendi peradaban). Sehingga untuk itu, pargonsi mendapat sebutan Batara Guru Hundul ( artinya : Dewa Batara Guru yang duduk) untuk pemain taganing dan Batara Guru Manguntar untuk pemain sarune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan Dewa dan mendapat perlakuan istimewa, baik dari pihak yang mengundang pargonsi maupun dari pihak yang terlibat dalam upacara tersebut. Dengan perantaraan merekalah, melalui suara gondang (keseluruhan instrumen), dapat disampaikan segala permohonan dan puji-pujian kepada Mulajadi Na Bolon (Yang Maha Esa) dan dewa-dewa bawahannya yang mempunyai hak otonomi

Posisi pargonsi tampak pada saat hendak diadakannya horja (upacara pesta) yang menyertakan gondang sabangunan untuk mengiringi jalannya upacara. Pihak yang berkepentingan dalam upacara akan mengundang pargonsi dan menemui mereka dengan permohonan penuh hormat, yang disertai napuran tiar (sirih) diletakkan di atas piring.

Pada saat upacara berlangsung, pargonsi akan dilayani dengan hormat, seperti ketika suatu kelompok orang yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu ingin menari, maka mereka akan meminta gondang kepada pargonsi dengan menyerukan sebutan yang menyanjung dan terhormat, yaitu :

“Ale Amang panggual pargonsi, Batara Guru Humundul, Batar Guru Manguntar, Na sinungkun botari na ni alapan arian, Parindahan na suksuk, parlompaan na tabo, Paraluaon na tingkos, paratarias na malo”.

Artinya

“Yang terhormat para pemain musik, Batara Guru Humundul, Batara Guru Manguntar. Yang ditanya sore hari dan dijemput sore hari penikmat nasi yang empuk, penikmat lauk yang lezat. Penyampai pesan yang jujur, pemikir yang cerdas.

Untaian kalimat di atas menunjukkan makna dari suatu sikap yang menganggap bahwa pargonsi itu setaraf dengan Dewa. Mereka harus selalu disuguhi dengan makanan yang empuk dan lezat, harus dijemput dan diantar kembali bila pergi ke suatu tempat dan mereka itu dianggap mempunyai fikiran yang jujur dan cerdas sehingga dapat menjadi perantara untuk menghubungkan dengan Mulajadi Nabolon.

Akan tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, penghargaan kepada pargonsi sudah berubah. Hal ini disebabkan kehadiran musik (suatu sebutan dari masyarakat Batak Toba untuk kelompok brass band) yang menggantikan kedudukan gondang sabangunan sebagai pengiring upacara. Apabila pihak yang terlibat dalam upacara meminta sebuah repertoar, mereka akan menyebut pargonsi kepada dirigen

atau pimpinan kelompok musik tersebut. Walaupun kedudukan kelompok musik sama dengan gondang sabangunan dengan menyebut “pargonsi” kepada pemain musik, namun musisi tersebut tidak dapat dianggap sebagai Batara Guru Humundul ataupun Batara Guru Manguntar.

Sikap hormat yang diberikan masyarakat kepada pargonsi bukanlah suatu sikap yang permanen (tetap), tetapi hanya dalam konteks upacara. Di luar konteks upacara, sebutan dan sikap hormat tersebut akan hilang dan pargonsi akan mempunyai kedudukan seperti anggota masyarakat lainnya, ada yang hidup sebagai petani, pedagang, nelayan dan sebagainya.

Sejalan dengan uraian di atas, ada beberapa penulis Batak Toba yang menerangkan sebutan untuk masing-masing instrumen dalam gondang sabangunan. Seperti pasariboe (1938) menuliskan sebagai berikut : oloan bernama simaremare, pangalusi bernama situri-turi, panonggahi bernama situhur tolong, doal bernama sisunggul madam, taganing bernama silima hapusan, gordang bernama sialton sijarungjung dan odap bernama siambaroba. Penulis Batak Toba lainnya, pasaribu (1967) menuliskan taganing bernama pisoridandan, gordang bernama sialtong na begu, odap bernama siambaroba, oloan bernama si aek mual, pangalusi bernama sitapi sindar mataniari, panggora bernama situhur, doal bernama diri mengambat dan hesek bernama sigaruan nalomlom.

Nama-nama di atas nama yang diberikan oleh pemilik instrumen musik atau pimpinan komunitas musik yang sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa Indonesia dan bukan menunjukkan gambaran mengenai superioritas instrumen tersebut. Nama-nama tersebut biasa saja berbeda pada tiap-tiap daerah. Khusus untuk instrumen sarune tidak ditemukan adanya sebutan terhadap instrumen itu.

 TAHAP-TAHAP UPACARA KEMATIAN SAUR MATUA

Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan .

Saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan

orang yang meninggal sari matua. Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh setiap yang melaksanakannya.

Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut.

Acara Sebelum Upacara di Mulai

Dalam kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut adalah di luar jangkauan manusia,karena keterbatasan, kemampuan dan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia juga sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan batas akhir kehidupannya.Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit yang diderita dan tidak dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan sebab-sebab lain yang tidak dapat diketahui secara pasti, maupun disebabkan penyakit.

Pada masyarakat Batak Toba, bila ada orangtua yang menderita penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka pada keturunanya beserta sanak famili biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara manulangi ini, maka pada keturunannya beserta sanak famili lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan berbagai persyaratan, seperti menentukan hari pelaksanaan adat panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlahnya serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunan dan sanak famili di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah seekor ternak babi untuk kemudian dimasak lagi dengan baik sebagai makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni huta (orang yang dituakan di kampung tersebut).

Kemudian acara panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang terdiri dari sepiring nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan kepada orangtua tersebut oleh anak sulugnya. Pada waktu Eanulangi, si anak tersebut menyatakan kepada orangtuanya bahwa mereka sebenarnya khawatir melihat penyakitnya. Maka sebelum tiba waktunya, ia berharap agar orangtuanya dapat merestui semua keturunananya hingga beroleh umur yang panjang, murah rezeki dan tercapai kesatuan yang lebih mantap. Ia juga mendoakan agar orangtuanya dapat lekas sembuh. Setelah anaknya yang sulung selesai memberikan makan, maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai kepada yang bungsu beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua keturunannya direstui dan diberi nasehat-nasehat. Pada waktu itu ada juga orangtua yang membagi harta warisannya walaupun belum resmi berlaku.

Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya keturunan dari orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan agar hula-hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama-sama. Sambi I makan, salah seorang dari pihak boru (suhut) memotong haliang (leher babi) dan dibagi-bagikan kepada hadirin. Setelah selesai makan, diadakanlah pembagian”jambar (suku-suku daging). Gaor bontar (kepala baglan atas sebelah kiri untuk boru (anak perempuan), Osang (mulut bagian bawah) untuk hula-hula, Hasatan (ekor) untuk keluarga suhut, soit (perut bagian tengah) untuk dongan sabutuha (teman semarga) dan jambar (potongan daging-daging) untuk semua yang hadir). Setelah pembagian jambar maka mulailah kata-kata sambutan yang pertama oleh anak Sulung dari orangtua ini dilanjutkan dari pihak boru, dongan sabutuha, dongan sahuta, dan terakhir dari hula-hula.

Setelah selesai kata mangampui, maka acarapun selesai dan diadakanlah doa penutup. Setelah acara panulangion itu selesai, maka pada hari berikutnya pihak hula-hula pergi menjenguk orangtua tadi dengan membawa dengke (ikan) dan sehelai ulos (kain adat batak) yang disebut ulos mangalohon ulos naganjang (memberikan kain adat). Ketika hula-hula menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang sakit, disitulah merka memberikan ulos naganjang kepada orangtua itu dengan meletakkannya di atas pundak (bahu) orangtua tersebut. Tujuan dari pemberian ulos dan makanan ini adalah supaya orangtua tersebut cepat sembuh, berumur panjang dan dapat membimbing semua keturunannya hingga selamat dan sejahtera di hari-hari mendatang.

Setelah pemberian ikan dan ulos itu maka pihak boru brdoa dan menyuguhkan daging lengkap dengan suku-sukunya kepada pihak hula-hula.

Pada waktu yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya orangtua yang gaur matua itu meninggal dunia, maka semua keluarga menangis dan ada yang meratap sebagai pertanda bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah mayat tersebut dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan diselimuti dengan kain batak (ulos). selanjutnya dibaringkan di ruang tengah yang kakinya mengarah ke jabu (bona rumah suhut). Pada saat yang bersamaan, pihak laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur matua itu. Dari musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap hal yang dibicarakan. Hasil-hasil ini dicatat oleh para suhut untuk kemudian untuk dipersiapkan ke musyawarah umum. penentuan hari untuk musyawarah umum ini juga sudah ditentukan. Dan mulailah dihubungi pihak famili dan mengundang pihak hula-hula, boru, dongan tubu. raja adat, parsuhuton supaya hadir dalam musyawarah umum (Mangarapot). Sesudah acara mangarapot selesai, maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang (Manggokkon hula-hula, boru, dongan sabutuha (yang terdiri dari ternan semarga, teman sahuta, teman satu kampung) serta sanak saudara yang ada di rantau. Pihak suhut lainnya ada yang memesan peti mayat, membeli dan mempersiapkan beberapa ekor ternak (kerbau atau babi atau yang lainnya) sebagai makanan pesta atau untuk borotan. Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut Parhobas. Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan orangtua yang meninggal saur matua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu laki-laki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya perempuan.Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak boru lainnya pergi mengundang pargonsi dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam upacara saur matua. pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan. 

Acara Pelaksanaan Upacara Kematian gaur Matua

Setelah keperluan upacara selesai dipersiapkan barulah upacara kematian gaur matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu :

  1. Upacara di jabu (di dalam rumah) termasuk di dalamnya upacara di jabu menuju maralaman (upacara di rumah menuju ke halaman ).
  2. Upacara maralaman (di halaman)

Kedua bentuk upacara inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum mengantarkan jenazah ke liang kubur.

  1. Upacara di jabu (di dalam rumah)

Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk , di sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua meeka masing-masing. Dan semua unsur dari dalihan natolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan ulos.

Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur dalihan natolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika

acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur dalihan natolu sedang berlangsung, diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada yang menangis.

Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar). Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih).

Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing. Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat.

Dan pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan dan mengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama.Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua. Dan pada saat gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saur matua akan dimulai. Kemudian diaturlah posisi masing-masing unsur Dalihan Natolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan yang meninggal, boru disebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut hanya tapi mereka paling depan.

Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria). Semua unsur Dalihan Natolu berdiri di tempatnya masing-masing. pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.

  1. Gondang ke dua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua menari.
  2. Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja.
  3. Gondang Simba-simba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.
  4. Gondang yang terakhir, hasututon meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.

Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Natolu meminta gondang kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah dari pihak hula-hula atau dongan sabutuha. Maksud dari pemberian uang itu adalah sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi semangat kepada pargonsi dalam memainkan gondang sabangunan.

Jika upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada malam-malam hari tersebut diisi dengan menotor semua unsur Dalihan Na Tolu.

Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa rnasuk kedalam rumah dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan dongan sabutuha. Tapi dibeberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah dongan sabutuha saja. Kemudian dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan diselimuti dengan ulos sibolang. posisi peti diletakkan sarna dengan posisi mayat sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian ulos tujung, ulus sampe, ulus panggabei.

Yang pertama sekali memberikan ulos adalah hula-hula yaitu ulos tujung sejenis ulos sibolang kepada yang ditinggalkan (janda atau duda) disertai isak tangis baik dari pihak suhut maupun hula-hula sendiri. Pemberian ulos bermakna suatu pengakuan resmi dari kedudukan seorang yang telah menjadi janda atau duda dan berada dalam suatu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang ditinggalkan oleh teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya dari pihak hula-hula. Dan ulos itu hanya diletakkan diatas bahu dan tidak diatas kepala. Ulos itu disebut ulos sampe atau ulos tali-tali. Dan pada waktu pemberian ulos sampe-sampe itu semua anak keturunan yang meninggal berdiri di sebelah kanan dan golongan boru di sebelah kiri daeri peti mayat. Setelah ulos tujung diberikan, kemudian tulang dari yang meninggal memberikan ulos saput (sejenis ulos ragihotang atau ragidup), yang diletakkan pada mayat dengan digerbangkan (diherbangkan) diatas badannya. Dan bona tulang atau bona ni ari memberikan ulos sapot tetapi tidak langsung diletakkan di atas badan yang meninggal tetapi digerbangkan diatas mayat peti saja. Maksud dari pemberian ulos ini adalah menunjukkan hubungan yang baik dan akrab antara tulang dengan bere (kemenakannya).

Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut, maka sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. pengganti dari ulos ini dapat diberikan sejumlah uang.

Kemudian aktivitas selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang kepada boru adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha, boru dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua rombongan selesai menari, maka semua hadirin diundang untuk makan bersama. Sehari sebelumnya peti mayat dibawa ke halaman rumah orangtua yang saur matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan rada sore hari. Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya) kepada orangtua yang saur matua dan kepada semua sanak famili.

Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan,lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula dan ale-ale.Acara ini berlangsung sampai selesai ( pagi hari .

Upacara di jabu menuju maralaman

Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiap-siap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah).

 

Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.

 Upacara Maralaman (di halaman rumah)

Upacara maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang gaur matua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang gaur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna.

Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka. Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengah-tengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan

Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.

Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup.

Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang (tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.

Setelah sitolu Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut.

Kemudian pengurus gereja meminta gondang Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja.

Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi.

Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah suhut.

Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Lagi giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau liang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong. Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hula-hula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang Hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan. Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut.

Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dong an sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka.

 Acara Sesudah Upacara Kematian.

Sesampainya pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-hula di rumah duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama. Pada saat itulah kuda yang diborotkan tadi sudah dapat dilepaskan dan ternak (babi) yang khusus untuk makanan pesta atau upacara yang dibagikan kepada semua yang hadir. Pembagian jambar ini dipimpin langsung oleh pengetua adat. Tetapi terdapat berbagai variasi pada beberapa tempat yang ada pada masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:

􀂾 Kepala untuk tulang

􀂾 Telur untuk pangoli

􀂾 Somba-somba untuk bona tulang

􀂾 satu tulang paha belakang untuk bona ni ari

􀂾 Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan

􀂾 Leher dan sekerat daging untuk boru

Setelah pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hula-hula yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini, akan diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso”, yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan masing-masing dan keadaan.

Bilamana seorang ibu yang meninggal saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu biasanya menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang. Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan “borunya” setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat.

Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur matua, hula-hula datang untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyedikan keperluan acara adalah pihak boru.

Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena faktor adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang meninggal tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan kepada orang tua yang meninggal, dengan harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal masih ada hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di akhirat.

Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat , maka pelaksanaan upacara ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan Natolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.

Sumber: IRFAN-Jurusan Antropologi Fakultas Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

MAKNA YANG TERDAPAT PADA SISTEM PERALATAN GONDANG BATAK TOBA

 

gondang

  1. Pengertian Gondang

Pada tradisi musik Toba, kata gondang (Secara harfiah) memiliki banyak pengertian. Antara lain mengandung arti sebagai : (1) seperangkat alat musik, (2) ensambel musik, (3) komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu), (pasaribu 1987). Makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung (Irwansyah,1990).

Pengertian gondang sebagai perangkat alat musik, yakni gondang Batak. Gondang Batak sering diidentikkan dengan gondang sabangunan atau ogling sabangunan dan kadang-kadang juga diidentikkan dengan taganing (salah satu alat musik yang terdapat di dalam gondang sabangunan). Hal ini berarti memberi kesan kepada kita seolah-olah yang termasuk ke dalam Gondang Batak itu hanyalah gondang sabangunan, sedangkan perangkat alat musik Batak yang lain, yaitu : gondang hasapi tidak termasuk gondang Batak. Padahal sebenarnya gondang hasapi juga adalah gondang Batak, akan tetapi istilah gondang hasapi lebih dikenal dengan istilah uning-uningan daripada gondang Batak.

Gondang dalam pengertian ensambel musik terbagi atas dua bagian, yakni gondang sabangunan (gondang bolon) dan gondang hasapi (uning-uningan). Gondang sabangunan dan gondang hasapi adalah dua jenis ensambel musik yang terdapat pada tradisi musik Batak Toba. Secara umum fungsi kedua jenis ensambel ini hampir tidak memiliki perbedaan keduanya selalu digunakan di dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara-upacara seremonial lainnya. Namun demikian kalau diteliti lebih lanjut, kita akan menemukan perbedaan yang cukup mendasar dari kedua ensambel ini.

Sebutan gondang dalam pengertian komposisi menunjukkan arti sebagai sebuah komposisi dari lagu (judul lagu secara individu) atau menunjukkan kumpulan dari beberapa lagu/repertoar, yang masing-masing ini bisa dimainkan pada upacara yang berbeda tergantung permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara untuk menari, termasuk di dalam upacara kematian saur matua. Misalnya : gondang si Bunga Jambu, gondang si Boru Mauliate dan sebagainya. Kata si bunga jambu, si boru mauliate dan malim menunjukkan sebuah komposisis lagu, sekaligus juga merupakan judul dari lagu (komposisi) itu sendiri.

Berbeda dengan gondang samba, samba Didang-Didang dan gondang elek-elek (lae-lae). Meskipun kata gondang di sini juga memiliki pengertian komposisi, namun kata sombai;didang-didangi dan elek-elek memiliki pengertian yang menunjukkan sifat dari gondang tersebut, yang artinya ada beberapa komposisi yang bisa dikategorikan di dalam gondang-gondang yang disebut di atas, yang merupakan “satu keluarga gondang”. Komposisi dalam “satu keluarga gondang,” memberi pengertian ada beberapa komposisi yang memiliki sifat dan fungsi yang sama, yang dalam pelaksanaannya tergantung kepada jenis upacara dan permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara. Misalnya: gondang Debata (termasuk di dalamnya komposisi gondang Debata Guru, Debata sari, Bana Bulan, dan Mulajadi); gondang Sahalai dan gondang Habonaran.

Gondang dalam pengertian repertoar contohnya si pitu Gondang. si pitu Gondang atau kadang-kadang disebut juga gondang parngosi (baca pargocci) atau panjujuran Gondang adalah sebuah repertoar adalah reportoar/kumpulan lagu yang dimainkan pada bagian awal dari semua jenis upacara yang melibatkan aktivitas musik sebagai salah satu sarana dari upacara masyarakat Batak Toba. Semua jenis lagu yang terdapat pada si pitu Gondang merupakan “inti” dari keseluruhan gondang yang ada. Namun, untuk dapat mengetahui lebih lanjut jenis bagian apa saja yang terdapat pada si pitu Gondang tampaknya cukup rumit juga umumnya hanya diketahui oleh pargonsi saja. Lagu-lagu yang terdapat pada si pitu Gondang dapat dimainkan secara menyeluruh tanpa berhenti, atau dimainkan secara terpisah (berhenti pada saat pergantian gondang). Repertoar ini tidak boleh ditarikan. Jumlah gondang (komposisi lagu yang dimainkan harus di dalam jumlah bilangan ganjil, misalnya : satu, tiga, lima, tujuh).

Kata gondang dapat dipakai dalam pengertian suatu upacara misalnya gondang Mandudu (“upacara memanggil roh”) dan upacara Saem (“upacara ritual”).

Gondang dapat juga menunjukkan satu bagian dari upacara di mana kelompok kekerabatan atau satu kelompok dari tingkatan usia dan status sosial tertentu yang sedang menari, pada saat upacara tertentu misalnya : gondang Suhut, gondang Boru, gondang datu, gondang Naposo dan sebagainya. Jika dikatakan gondang Suhut, artinya pada saat itu Suhut yang mengambil bagian untuk meminta gondang dan menyampaikan setiap keinginannya untuk dapat menari bersama kelompok kekerabatan lain yang didinginkannya. Demikian juga Boru, artinya yang mendapat kesempatan untuk menari; gondang datu, artinya yang meminta gondang dan menari; dan gondang naposo, artinya muda-mudi yang mendapat kesempatan untuk menari.

Selain kelima pengertian kata gondang tersebut, ada juga pengertian yang lain yaitu yang dipakai untuk pembagian waktu dalam upacara, misalnya gondang Sadari Saboringin yaitu upacara yang didalamnya menyertakan aktivitas margondang dan dilaksanakan selama satu hari satu malam.

Dengan demikian, pengertian gondang secara keseluruhan dalam satu upacara dapat meliputi beberapa pengertian seperti yang tertera di atas. pengertian gondang sebagai suatu ensambel musik tradisional khususnya, maksudnya untuk mengiring jalannya upacara kematian saur matua.

 Istilah Gondang Sabangunan

g1

Banyak istilah yang diberikan para ahli kebudayaan ataupun istilah dari masyarakat Batak itu sendiri terhadap gondang Sabangunan, antara lain: agung, agung sabangunan, gordang parhohas na ualu (perkakas nan delapan) dan sebagainya. Tetapi semua ini merupakan istilah saja, karena masing-masing pada umumnya mempunyai pengertian yang sama.

Diantara istilah-istilah tersebut di atas, istilah yang paling menarik perhatian adalah parhohas na ualu yang mempunyai pengertian perkakas nan delapan. Istilah ini umumnya dipakai oleh tokoh-tokoh tua saja, dan biasanya disambung lagi dengan kalimat “simaningguak di langit natondol di tano” (artinya berpijak di atas tanah sampai juga ke langit). Menurut keyakinan suku bangsa Batak Toba dahulu, apabila gondang sabangunan tersebut dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari mengikuti gondang itu akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah (na tondol di tano). Biasanya semua pendengar mengakui adanya sesuatu kekuatan di dalam “gondang” itu yang dapat membuat orang bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan.

Gondang sabangunan disebut “parhohas na ualu, karena terdiri dari delapan jenis instrumen tradisional Batak Toba, yaitu taganing, sarune, gordang, ogling ihutan, ogling oloan, ogling panggora, ogung doal dan hesek tanpa odap. Kedelapan intrumen itu merupakan lambang dari kedelapan mata angin, yang disebut “desa na ualu” dan merupakan dasar yang dipakai untuk sebutan Raja Na Ualu (Raja Nan Delapan) bagi komunitas musik gondang sabangunan.

Pada masa awal perkembangan musik gondang Batak, instrumen-instrumen ini masing-masing dimainkan oleh satu orang saja. Tetapi sejalan dengan perubahan jaman, ogling oloan dan ogling ihutan telah dapat dimainkan hanya oleh satu orang saja. Sedangkan odap sudah tidak dipakai lagi. Kadang-kadang peran hesek juga dirangkap oleh pemain taganing, sehingga jumlah pemain ensambel itu bervariasi. Keseluruhan pemain yang memainkan instrumen-instrumen dalam gondang sabangunan ini disebut pargonsi dan kegiatan yang menggunakan perangkat-perangkat musik tradisional ini disebut margondang (memainkan gondang).

 Jenis Dan Fungsi Instrumen Gondang Sabangunan

Gondang sabangunan sebagai kumpulan alat-alat musik tradiosional Batak Toba, terdiri dari : taganing, gordang, sarune, ogling oloan, ogling ihutan, ogling panggora, ogling doal dan hesek. Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan masing-masing instrumen yakni fungsinya.

  1. Taganing

g2

Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai “pengaba” atau “dirigen” (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.

  1. Gordang

g3

Gordang ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.

  1. Sarune

g4

Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.

  1. Ogung Oloan (pemiapin atau Yang Harus Dituruti)

 

g5

Agung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi agung oloan ini umumnya sama dengan fungsi agung ihutan, agung panggora dan agung doal dan sedikit sekali perbedaannya. agung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan.

Fungsi dari agung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi berbarengan dengan agung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan agung oloan.

Oleh karena musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi agung oloan dan ihutan saja. Berdasarkan hal ini, maka ogling oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti “pemimpin” atau “Yang harus di turuti” , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu “Yang menjawab” atau “Yang menuruti”. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogling dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan “tanya jawab”

  1. Ogung Ihutan atau Ogung pangalusi (Yang menjawab atau yang menuruti).

g6

 

  1. Ogling panggora atau Ogung Panonggahi (Yang berseru atau yang membuat orang terkejut).

g7

  1. Ogung Doal (Tidak mempunyai arti tertentu)

g8

 

  1. Hesek

g9

Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan.

  1. Susunan Gondang Sabangunan

Menurut falasafah hidup orang Batak Toba, “bilangan” mempunyai makna dan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan aktivitas adat. “Bilangan genap” dianggap bilangan sial, karena membawa kematian atau berakhir pada kematian. Ini terlihat dari anggota tubuh dan binatang yang selalu genap. menurut Sutan Muda Pakpahan, hal itu semuanya berakhir pada kematian, dukacita dan penderitaan (Nainggolan, 1979).

Maka di dalam segala aspek kehidupan diusahakan selalu “bilangan ganjil” yang disebut bilangan na pisik yang dianggap membawa berkat dan kehidupan. Dengan kata lain “bilangan genap” adalah lambang segala ciptaan didunia ini yang dapat dilihat dan hakekatnya akan berlalu, sedang “bilangan ganjil” adalah lambang kehidupan dan Pencipta yang tiada terlihat yang hakekatnya kekal.

Itulah sebabnya susunan acara gondang sabangunan selalu dalam bilangan ganjil. Nama tiap acara, disebut “gondang” yang dapat diartikan jenis lagu untuk nomor sesuatu acara. Susunan nomor acara juga harus menunjukkan pada bilangan ganjil seperti Satu, tiga, atau lima dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara. Sedangkan jumlah acara juga boleh menggunakan acara bilangan genap, misalnya : dua nomor acara, empat atau enam.

Selanjutnya susunan acara itu hendaknya memenuhi tiga bagian, yang merupakan bentuk upacara secara umum, yaitu pendahuluan yang disebut gondang mula-mula, pemberkatan yang disebut gondang pasu-pasu, dan penutup yang disebut gondang hasatan. Ketiga bagian gondang inilah yang disebut si pitu Gondang (Si Tujuh Gondang). Walaupun dapat dilakukan satu, tiga, lima, dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara atau jenis gondang yang diminta. “Gondang mula-mula i ma tardok patujulona na marpardomuan tu par Tuhanon, tu sabala ni angka Raja dohot situan na torop”. Artinya Gondang mula-mula merupakan pendahuluan atau pembukaan yang berhubungan dengan Ketuhanan, kuasa roh raja-raja dan khalayak ramai.

Bentuk upacara yang termasuk gondang mula-mula antara lain:

  1. Gondang alu-alu, untuk mengadukan segala keluhan kepada yang tiada terlihat yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta, biasanya dilakukan tanpa tarian.
  2. Gondang Samba-Samba, sebagai persembahan kepada Yang Maha Pencipta. Semua penari berputar di tempat masing-masing dengan kedua tangan bersikap menyembah.

 

Yang termasuk gondang pasu-pasuan :

  1. Gondang Sampur Marmere, menggambarkan permohonan agar dianugrahi dengan keturunan banyak.
  2. Gondang Marorot, menggambarkan permohonan kelahiran anak yang dapat diasuh.

 

 

  1. Gondang Saudara, menggambarkan permohonan tegaknya keadilan dan kemakmuran.
  2. Gondang Sibane-bane, menggambarkan permohonan adanya kedamaian dan kesejahteraan.
  3. Gondang Simonang-monang, menggambarkan permohonan agar selalu memperoleh kemenangan.
  4. Gondang Didang-didang, menggambarkan permohonan datangnya sukacita yang selalu didambakan manusia.
  5. Gondang Malim, menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam yang tidak mau ternoda.
  6. Gondang Mulajadi, menggambarkan penyampaian segala permohonan kepada Yang Maha pencipta sumber segala anugerah.

 

Angerah pasu-pasuan i ma tardok gondang sinta-sinta pangidoan hombar tu sintuhu ni na ginondangkan dohot barita ngolu. Artinya gondang pasu-pasuan merupakan penggambaran cita-cita dan pernohonan sesuai dengan acara pokok dan kisah hidup.

 

Sedangkan yang termasuk gondang penutup (gondang hasatan):

Gondang Sitio-tio, menggambarkan kecerahan hidup masa depan sebagai jawaban terhadap upacara adat yang telah dilaksanakan.

Gondang Hasatan, menggambarkan penghargaan yang pasti tentang segala yang dipinta akan diperoleh dalam waktu yang tidak lama.

 

Gondang hasatan i ma pas ni roha na ingkon sabat saut sude na pinarsinta. Artinya : Gondang hasatan ialah : suatu keyakinan yang pasti bahwa semua cita-cita akan tercapai. Lagu-lagu untuk ini biasanya pendek-pendek saja.

 

Dari ketiga bagian gondang tersebut di atas, maka para peminta gondang menentukan beberapa nomor acara gondang dan nama gondang yang akan ditarikan. Masing- masing gondang ditarikan satu nilai satu kali saja. Contohnya:

Sebagai pendahuluan : Gondang Alu-alu (tidak ditarikan).

  1. Gondang Mula-mula (1x). Biasanya gondang ini disatukan dengan Gondang Samba-samba.

Di Gondang Mula-mula = menari dengan tidak membuka tangan dan hanya sebentar.

Di Gondang Samba-mamba = menari sambil membuka tangan

  1. Gondang Pasu-pasuan (3x) atau (5x).

III. Gondang Sahatan (1x) atau (2x).

Yang umum dilaksanakan terdiri dari tujuh nomor acara (Si pitu Gondang) dengan susunan :

  1. Gondang Mula-mula : 1x = Gondang Mula-mula.
  2. Gondang Samba-samba : 1x = Idem
  3. Gondang Sampur Marmere : 1x = Gondang Pasu-pasuan
  4. Gondang Marorot : 1x = Idem
  5. Gondang Saudara : 1x = Idem
  6. Gondang sitio-tio : 1x = Idem
  7. Gondang Hasatan : 1x = Idem

 

————————————————————————————–

Jumlah : 7x (2 G. Mula-mula + 3 G.

Pasu-pasuan+ 2 G Hasahatan)

Jika diadakan dalam lima nomor acara (Silima Gondang), susunannya adalah sebagai berikut :

Gondang Mula-mula

dengan Samba-samba : 1x Gondang Mula-mula.

Gondang Sibane-bane : 1x Gondang Pasu-pasuan

Gondang Simonang-monang : 1x Idem

Gondang Didang-didang : 1x Idem

Gondang Hasatan sitio-tio : 1x Gondang Hasahatan

————————————————————————————–

Jumlah : 5x (1. G Mula-mula + 3 G

Pasu-pasuan + 1 G Hasatan).

Sedangkan dalam tlga nomor acara (Sitolu Gondang), susunannya ialah :

Gondang Mula-mula dengan Samba-samba : 1x = Gondang Mula-mula

Gondang Sibane-bane disatukan dengan Gondang Simonang-monang : 1x = Gondang Pasu-pasuan

Gondang Hasahatan sitio-tio : 1x = Gondang Hasahatan

———————————————————————————————–

Jumlah : 3x (1 G Mula-mula + 1 G Pasu-pasuan + 1 G = Hasahatan).

Jika hanya nomor acara (Sisada Gondang) , maka di dalamnya sekaligus dimainkan Gondang Mula-mula, Gondang Pasu-pasuan, Gondang Hasahatan.

Maret Berdarah di Sumatera Timur, “Revolusi Sosial”67 Tahun Silam

asahan

Masjid Sultan Ahmadsyah di Tanjung Balai. Di depan bangunan masjid terdapat sebuah kuburan massal. Foto-foto: Wan Ulfa Nur Zuhra.

Tanah itu tak luas. Ukurannya hanya sekitar 2 x 3 meter. Kondisinya tampak tak terurus. Rumput tumbuh sembarang. Lokasinya berada di halaman depan Masjid Raya Tuan Ahmadsyah, Tanjung Balai, sekitar empat meter dari bangunan masjid. Tak banyak orang yang tahu bahwa tanah tersebut adalah sebuah kuburan massal.

Sebanyak 73 nama terpahat di nisan tersebut. Mereka adalah korban dari penyerbuan dan pembantaian yang terjadi di Asahan, Sumatera Utara, tepat pada 67 tahun silam, yakni Maret 1946. Jasad-jasad yang ada di kuburan ini pada mulanya ditemukan dalam bentuk tulang belulang yang  terserak di Sungai Lendir. Sungai Lendir adalah sebuah kampung di Asahan, yang untuk mencapainya harus menggunakan perahu atau boat.

Pemilik jasad dari tulang belulang itu adalah para petinggi negara Kesultanan Melayu Asahan beserta cerdik pandai dan masyarakat umum. Di nisan itu pun tercantum dua orang Mandailing yang masing-masing bermarga Siregar dan Nasution.

***

3 Maret 1946, azan subuh belum lagi berkumandang di Tanjung Balai, Asahan. Ketika itu, Tengku Muhammad Yasir menyambut kedatangan ayahnya yang baru tiba dari istana. Ayahnya baru pulang berjaga-jaga karena terdengar kabar akan ada penyerangan.

Rumah keluarga Yasir tak jauh dari Istana Asahan. Kedua lokasi tersebut sama-sama berada dalam lingkaran Kota Raja Indra Sakti, yang di tengahnya terhampar lapangan hijau.

Ketika itu, Yasir, yang berusia 15 tahun, membukakan pintu untuk ayahnya. Dia lalu menatap ke arah lapangan hijau di depan rumahnya. Ada sekelompok orang merayap ke arah istana. Yasir melihat pakaian mereka biasa saja. Tapi, mereka membawa senjata api juga senjata tajam.

“Ontu, tengok itu, Ntu!” ujar Yasir pada sang ayah sambil menunjuk ke arah lapangan. Melihat apa yang terjadi, mereka kemudian masuk ke rumah.

Pukul enam pagi itu, istana diserang sekelompok orang dari berbagai laskar. Mereka disebut-sebut berasal dari Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar), Barisan Merah/Partai Komunis Indonesia, Hizbullah, dan buruh-buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani. Seluruh keluarga dan kerabat kesultanan Melayu Islam serta orang-orang yang bekerja untuk istana ditangkap. Harta benda mereka dirampas. Sultan Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, Sultan Asahan waktu itu, melarikan diri dari belakang istana. Dia berlari menuju markas Jepang.

Para penyerbu itu sendiri umumnya merupakan organisasi-organisasi atau laskar-laskar yang tidak berpaut ke tanah Sumatera Timur atau Sumatera sendiri, dan merupakan bentukan Jepang untuk Perang Dunia II, untuk turut melawan orang kulit putih dan mereka yang berkawan dengan orang putih.

Satu jam kemudian, sejumlah orang datang ke rumah Yasir. Dia dan ayahnya dibawa. Tapi Yasir kesulitan berjalan karena tapak kakinya sedang sakit dan diperban. Melihat kaki Yasir yang sakit dan mengeluarkan bau tak sedap, dia tak jadi dibawa.

“Ah, tak usahlah kau ikut!” teriak salah seorang yang membawa mereka.

Yasir pun berjalan perlahan. Hanya saja, dia tak kembali ke rumahnya, tapi ke rumah Tengku Haniah, kakak sepupunya. Rupanya, di rumah itu pun tak ada lagi lelaki. Semua sudah dibawa sekelompok orang yang melakukan penyerangan. Dan tak lama datang lagi sekelompok orang untuk membawa mereka.

Tengku Haniah yang saat itu hamil tujuh bulan awalnya menolak untuk dibawa dengan alasan kehamilannya. Tapi sekelompok orang itu tak peduli. Mereka tetap dibawa ke rumah tahanan. Harta benda mereka juga di rampas. Pakaian pun tak sempat mereka bawa. Kali ini Yasir dibawa.

Rumah tahanan itu berupa rumah biasa saja. Di dalamnya terjejal ratusan orang. Sempit dan sesak. Anak-anak dan perempuan dimasukkan dalam satu rumah yang sama, termasuk Haniah beserta ibu dan kedua kakaknya. Perhiasan yang melekat di tubuh seluruh tahanan dilucuti. Habis, tak tersisa. Sementara Yasir di rumah tahanan khusus lelaki. Anak-anak menangis ketakutan.

Sehari-hari, mereka diberi beras dan ikan asin untuk dimakan. Beras dan ikan itu harus dimasak sendiri.

Dalam tahanan, Haniah tak henti-henti memikirkan nasib keluarganya yang diculik. Sebab, sampai waktu itu, tak ada kabar berita. Suaminya yang kala itu sedang berada di Medan untuk membeli obat juga tak terdengar kabarnya.

Dua bulan kemudian, Haniah melahirkan anak pertamanya di rumah tahanan. Dia tak didampingi suami, tak ditunggu keluarga besar, juga tanpa rasa bahagia layaknya seorang perempuan yang baru saja menjadi ibu. Kelahiran anaknya dibantu oleh seorang suster yang dipanggil oleh para penculik.

Sehari setelah melahirkan, Haniah langsung melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti biasanya. Tak ada yang bisa diharap untuk membantunya. Semua orang sibuk dengan keperluannya masing-masing. Hampir empat bulan mereka hidup dalam tahanan, hingga akhirnya dibebaskan dengan syarat harus ada yang menjamin.

Salah seorang yang sangat diingat Yasir dalam penyerangan itu bernama Djamaluddin Tambunan. Dia adalah guru Yasir di sekolah. Yasir melihat gurunya itu ada di antara orang-orang yang melakukan penyerangan. Kelak, Djamaluddin dijadikan pahlawan nasional Indonesia dan dimakamkan di makam pahlawan di Medan.

***

Nisan yang berisi 73 nama korban di kuburan massal di Tanjung Balai.

Di Tanjung Pasir, tak jauh dari Tanjung Balai, ada sebuah negara Melayu berbentuk kesultanan Islam bernama Koealoe (Kualuh). Malam itu, 3 Maret 1946, sebagian besar penghuni Istana Koealoe sedang terlelap. Tiba-tiba terdengar suara pintu digedor-gedor dari luar. Seorang gadis 15 tahun, cucu dari Sultan Koealoe bernama Tengku Rahimah, tersentak ketika mendengar suara keributan di istana.

“Mana Tengku Besar? Mana Tengku Besar?” teriak orang-orang yang datang dengan senjata tajam. Mereka yang datang ke istana malam itu disebutkan terdiri dari macam-macam golongan. Rahimah mengenali mereka sebagai penduduk asli Koealoe, tapi kebanyakan orang-orang imigran Jawa yang bekerja di perkebunan.

Tengku Besar adalah gelar bagi Tengku Mansoer Sjah, ayah Rahimah yang merupakan putra dari Sultan Koealoe. Kebetulan, malam itu Tengku Mansoer Sjah tidak tidur di istana, tapi di rumah istri keduanya. Ibu Rahimah, istri pertama Mansoer Sjah, meninggal dunia saat Rahimah masih kecil.

“Tuanku mana? Mana Tuanku?”

Tuanku adalah panggilan bagi Tengku Al Hadji Moehammad Sjah, atok Rahimah, Sultan Koealoe saat itu. Malam itu, istana diobrak-abrik. Tuanku mereka bawa ke kuburan Cina, tak jauh dari istana. Tengku Besar juga dijemput dari rumah istrinya dan dibawa ke tempat yang sama.

Tengku Darman Sjah, adik Tengku Besar, malam itu sedang berada di kuburan istrinya yang baru saja meninggal dunia. Dia tak henti membacakan ayat-ayat Al-Quran. Malam itu, dia pun ikut dibawa. Di kuburan Cina itu mereka disiksa. Lalu ditinggalkan.

Pagi harinya, seorang nelayan yang lewat melihat tubuh mereka terkapar tapi masih bernyawa. Dengan bantuan masyarakat, dibawalah ketiga keluarga kesultanan tadi ke istana untuk kemudian dirawat. Tapi, sekitar pukul 11 siang, datang lagi sekelompok orang yang ingin membawa sultan dan kedua putranya. Mereka orang yang berbeda dari yang datang di malam sebelumnya.

“Rakyat menginginkan Tuanku dan kedua putranya dibawa ke rumah sakit,” kata salah seorang dari mereka.

“Usahlah, biar kami saja yang urus,” kata istri Sultan.

Tapi sekelompok orang yang datang itu memaksa. Dan keluarganya di istana tak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun dibawa entah ke mana dan tak pernah pulang. Rahimah dan keluarganya yang lain juga ditawan selama lebih dari satu bulan. Mereka dibawa ke sana kemari, dari Rantau Prapat hingga Siantar.

***

Tengku Mad Drail, suami Tengku Haniah, sedang berada di Medan. Dia berusaha membeli obat bagi istrinya yang tengah mengandung tujuh bulan. Satu waktu, Mad Drail berjumpa dengan dr. Tengku Mansoer. Mansoer adalah keluarga Kesultanan Asahan yang menjadi dokter di Medan. Kelak, Mansoer menjadi Wali Negara/Presiden Negara Sumatera Timur.

“Mad, kau jangan pulang ke Tanjung Balai, revolusi sedang berjalan,” begitu kata Mansoer kepada Mad Drail.

“Cemanalah (macam mana-red), Tok, istri awak sedang hamil,” jawab Mad Drail yang kemudian memutuskan untuk tetap kembali ke Tanjung Balai.

Dari Medan, Mad Drail naik kereta api. Sampai di Kisaran, ketika keretanya berhenti di stasiun, sekelompok orang masuk ke gerbong dan membawanya. Sejak saat itu, keberadaan dan nasib Mad Drail tak pernah diketahui lagi.

Kisah dr. Mansoer dan Mad Drail ini diceritakan ulang oleh Yasir, sebagaimana yang pernah diceritakan dr. Mansoer kepadanya.

Kelak, ketika sudah menjadi Wali Negara/Presiden Negara Sumatera Timur, dr. Tengku Mansoer adalah orang menolak pemindahan kerangka korban-korban pembantaian di Sungai Lendir. Ketika keadaan sudah relatif stabil dalam Negara Sumatera Timur (1947 – 1950), memang ada pembicaraan untuk memindahkan kerangka korban pembantaian yang terserak itu. Akan tetapi, Mansoer berargumen bahwa dirinya tak mau ada dendam di antara keluarga korban yang dapat mengakibatkan kerusuhan lagi di Sumatera Timur.

Meski demikian, pada 2003, jasad-jasad yang terserak itu jadi juga dikumpulkan dan dimakamkan di depan Masjid Raya Tuan Ahmadsyah. Masyarakat dan keluarga korban turut membantu, termasuk Yasir dan Tengku Alex, anak dari Sultan Sjaiboen.

***

langkat2

Penyerangan dengan cara penculikan, penahanan, pembunuhan, dan perampokan yang menimpa Yasir dan Haniah di Tanjung Balai, pun Rahimah di Koealoe, juga dialami di Langkat, Karo, Simalungun, Bilah, dan Kota Pinang. Deli dan Serdang tak mengalami penyerangan. Keluarga, kerabat, dan petinggi kesultanan-kesultanan Melayu Islam ini dibunuh, harta benda mereka dirampas sampai habis.

langkat

“Di Langkat, kedua putri Sultan Mahmoed diperkosa di depan ayahnya,” kata Tengku Zulkifli.

Tengku Zulkifli adalah anak Pangeran Langkat bernama Tengku Kamil. Pada Maret 1946, usia Zulkifli masih empat tahun. Kisah pemerkosaan itu jadi cerita turun temurun di keluarganya.

Zulkifli juga ikut menyaksikan pembongkaran kuburan korban pembantaian di Kebun Lada pada 1948. Di Kebun Lada itulah jenazah Tengku Amir Hamzah ditemukan, lalu dipindahkan ke Mesjid Azizi, Tanjung Pura. Tengku Amir Hamzah ketika itu adalah Pangeran Langkat Hilir, kemudian menjadi Bendahara Paduka Raja, lalu Pangeran Langkat Hulu, lantas Ketua Pengadilan Kerapatan Kesultanan Langkat. Pada saat yang sama dan di tanah yang sama, Amir Hamzah juga menjadi Asisten Residen (Bupati) Langkat dari Republik Indonesia Yogyakarta.

Di Simalungun, pembunuhan dan perampasan harta juga terjadi. Dalam tulisannya berjudul “Revolusi Sosial Berdarah di Simalungun Tahun 1946”, Pendeta Juandaha Raya Purba Dasuha menuliskan kisah pembantaian itu. Dia membantah sebutan ‘Raja-raja menindas rakyat’ yang selama ini disebut-sebut sebagai dasar pembenar dilakukannya pembantaian.

“Saya lalu menanyakan tentang kebenaran “raja-raja menindas rakyat” yang diutarakan oleh Batara Sangti tersebut kepada Tuan Kamen Purba Dasuha putera raja Panei terakhir dan Tuan Djariaman Damanik Raja Muda Sidamanik terakhir. Dengan nada diplomatis, Tuan Kamen balik bertanya kepada penulis, “Apakah kaum pendatang tidak pantas untuk menghormati dan tunduk kepada aturan pemerintah yang berlaku di Panei?” Dengan menunjuk persawahan yang luas di sekitar Pamatang Panei sampai ke Sabah Dua, Tuan Kamen berkata, “Kalau ayah saya menindas pendatang dari Tapanuli ini, tidak mungkin mereka dapat memiliki persawahan dan pemukiman yang luas di Panei ini. Justru kami sebagai ahliwaris raja Panei yang akhirnya kebagian lahan warisan yang paling sedikit dibanding kaum pendatang.” Sementara itu Tuan Djariaman Damanik juga berkata senada dengan Tuan Kamen Purba Dasuha, dia mengatakan bahwa jika Tuan Sidamanik menindas para pendatang dari Tapanuli tidak akan mungkin penduduk Tapanuli yang pindah ke Sidamanik melampaui jumlah penduduk asli Simalungun dan menguasai tanah yang lebih luas dari keturunan Tuan Sidamanik,” tulis Juandaha.

Juandaha juga mengutip hasil penelitian Tengku Luckman Sinar yang membuktikan bahwa tindakan segerombolan orang republiken itu, atau yang mengaku demikian, merupakan proyek rahasia dari Markas Agung pimpinan komunis Sarwono, Zaina Baharuddin, dan Saleh Umar, serta eksekutor lapangan A E Saragihras dari Barisan Harimau Liar (Ku Tui Sin Tai) di Simalungun.

“Dalam pemeriksaan oleh pihak berwajib mereka mengaku bahwa tindakan itu digerakkan atas perintah Sarwono, Saleh Umar dan Yacob Siregar sebagai gembongnya untuk menghapuskan kerajaan di Sumatera Timur yang dituduh penghalang pada kemerdekaan. Eksekusi dilaksanakan mulai pukul 00.00 WIB tanggal 3-4 Maret 1946 tepat pada saat Gubernur Sumatera tidak berada di Medan, sebab pada hari itu Gubernur sudah “sengaja” diatur Markas Agung untuk kunjungan ke Sumatera Selatan. Kehadiran Gubernur Teuku Mohammad Hasan di Medan dianggap akan menggagalkan rencana Markas Agung tersebut,” tulis Juandaha.

Pada September 1947, Tengkoe Mochtar Aziz, saudara muda dari Sultan Langkat, menyampaikan pidatonya di Pusat Radio Resmi Indonesia. Dia bercerita tentang apa yang dialaminya selama di tahanan di Tanah Karo. Isi pidatonya kemudian dimuat di harian Pandji Ra’jat pada 2 September 1947. Adapun koran ini, sebagaimana koran-koran terbitan lama, dikumpulkan oleh lembaga bernama Institute for War, Holocaust and Genocide Studies di Belanda.

“Di sini, bukan maksud saya hendak membuat propaganda, melainkan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi. Supaya seluruh rakyat di kepulauan Indonesia dapat mengetahui dan menimbangnya dengan sebaiknya,” begitu Mochtar Aziz membuka pidatonya.

Pada bagian awal pidatonya, Mochtar Aziz menjelaskan betapa kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur pada dasarnya bersedia bekerja sama dengan republik di Yogyakarta. Dan pada Februari 1946, sebelum pembantaian dilakukan, raja-raja dan Komite Nasional Pusat Sumatera Timur mengadakan pertemuan di Kota Medan. Pertemuan yang dihadiri seluruh pembesar republik memutuskan untuk membentuk daerah Sumatera Timur dengan demokrasi. Mereka menargetkan bahwa pada Mei 1946 pemerintahan yang baru itu sudah bisa berjalan. Akan tetapi, masa-masa itu Kesultanan Langkat dan yang lainnya macam sedang dalam kondisi hamil tua. Dan peristiwa berdarah pada Maret 1946 itu membuat apa yang pernah mereka bicarakan dan putuskan tak pernah terjadi.

“Saya pertama kali diambil dari rumah saya dengan janji akan diperiksa sebentar di markas, walaupun waktu itu jam 2 malam, saya lalu (ikut-red) juga karena saya percaya saya tidak akan dapat kesusahan oleh karena saya adalah anggota dari komite nasional. Sayang, perikemanusiaan tidak ada lagi. Saya sampai di markas, terus di bawa ke satu tempat, 40 kilometer dari tempat saya, dengan tidak sempat hendak memberi kabar pada istri dan anak saya ke mana saya dibawa. Dari sana, saya dibawa ke Berastagi. Waktu itu, pada istri dan keluarga saya yang tinggal, dikatakan saya telah dibunuh. Inilah yang kami tanggungkan selama 17 bulan, dengan tidak tahu pada siapa kami mengadukan hal yang kami deritai,” cerita Mochtar dalam pidatonya.

Mochtar Aziz kemudian melanjutkan ceritanya selama di tahanan.

“Selama di tahanan, tidak sedikit penghinaan diberikan pada kami. Kami orang tahanan diberi gelar kambing, dari itu, kami tak bisa bergaul dengan manusia biasa. Buat makan, kami dilainkan. Buat mandi seminggu sekali, mesti dengan hewan,” sambung Mochtar.

Mayjen TNI (Purn) Barkah Tirtadidjaja dalam memoarnya berjudul Mutiara Hati yang ditulis Adji Subela dan tebit pada 2008 menceritakan kisah pembantaian ini dalam bab ke tujuh berjudul Mutiara di Tengah Kelam. Kelam yang dimaksudkannya adalah penyerangan dan pembantaian itu sendiri. Dan dia sendiri tak menganggap itu revolusi, melainkan sebuah kerusuhan. Barkah adalah suami dari putri Sultan Langkat bernama Tengku Nurzehan.

“Kisah menyeramkan itu ironisnya terjadi dengan mengatasnamakan demi republik. Ketika Gubernur Sumatera Mr. T. M. Hasan mengadakan kunjungan kerja ke daerah Selatan, tiba-tiba segerombolan pemuda yang dimotori Volksfront membokong dengan melancarkan aksi kerusuhan,” begitu cerita Barkah sebagaimana tertulis dalam memoar itu. Volksfront adalah front rakyat yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia.

Pada memoar itu juga tercantum kutipan dari Tengku Amaliah, istri Tengku Amir Hamzah, yang menceritakan kisah ketika suaminya diculik. Kutipan itu diambil dari buku hariannya.

Suatu pagi di Bulan Maret 1946. Serombongan Barisan Pemuda berbaris sambil bernyanyi-nyanyi lewat di depan Istana Binjai. Sore, beberapa orang datang ke istana mengambil Amir dengan alasan ‘dipinjam’ sebentar. Nanti akan dibawa kembali….

Sebelum meninggalkan istana, Amir ia sempat mencium kening putri satu-satunya, Tengku Tahura (Kuyong) yang kala itu berusia tujuh tahun.

***

Asahan kini menjadi kabupaten dengan ibu kota di Kisaran. Adapun Tanjung Balai sudah memisahkan diri dari Asahan dan menjadi kotamadya. Sebagai kabupaten, Asahan berada di dalam Provinsi Sumatera Utara, Republik Indonesia. Istana kesultanan Asahan pun sudah tak lagi berjejak. Sultan dan keturunannya kini menjadi kepala adat yang tak memiliki konsekuensi politik. Bahkan, tanah tempat istana itu dulu berdiri kini berubah jadi jajaran rumah toko. Lapangan hijau di sekitar istana pun kini sudah dikelilingi pagar dengan sebuah tribun besar di salah satu sisinya. Lapangan Sultan Abdul Aziz, namanya.

Pada saat yang sama, hari ini Masyarakat Tanjung Balai agak kesusahan untuk bisa menikmati pendidikan tinggi. Tak ada universitas atau sekolah tinggi di kota ini. Jika ingin kuliah, tempat paling dekat yang mereka bisa tuju adalah Medan, Siantar, atau Kisaran. Sebagian besar pekerjaan mereka adalah nelayan dan pedagang.

Tengku Alex kini menjadi Nazir di Mesjid Raya Tuan Ahmadsyah. Dia menyayangkan Tanjung Balai kini yang tak begitu berkembang.

“Padahal kami punya pelabuhan yang bisa menghubungkan kami dengan perdagangan internasional,” kata Alex.

Sementara Yasir meyakini hingga kini bahwa ada yang menghasut rakyat Asahan dan negeri-negeri lain di Sumatera Timur.

“Sebelum revolusi, ada semacam fatwa yang beredar di masyarakat waktu itu, katanya darah raja itu halal,”ujar Yasir.

Dalam sejarah Republik Indonesia, peristiwa Maret 1946 yang menimpa kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur disebut sebagai ‘revolusi sosial’. Dan pada narasi macam itu, Yasir tak paham. Meski istilah ‘revolusi sosial’ sudah dia dengar sejak dahulu hingga kini, namun dia tetap tak tahu apa sebenarnya revolusi sosial itu. Menurutnya, keinginan untuk menghapuskan negara kerajaan tak murni datang dari rakyat sendiri, tapi dari hasil propaganda di Yogyakarta.

“Ini murni pembunuhan dan perampokan besar-besaran,” tambah Yasir.

Haniah yang ditemui di rumahnya juga punya kegusaran serupa.

“Kalau memang ingin menghapus kerajaan, kenapa Kesultanan Jogja itu masih ada sampai sekarang?… Apapunlah alasan mereka, pembunuhan dan perampokan itu kan tetap kejahatan?” ujar Haniah.

Tengku Haniah kini berusia 85 tahun. Kenangan getir yang dialaminya masih terngiang jelas. Dia kini menetap di Jalan Pattimura, Medan. Matanya berkaca-kaca ketika menceritakan betapa dirinya bertahun-tahun mencari keluarganya yang hilang, juga suaminya yang tak kunjung pulang.

Untuk bisa bertahan hidup, setelah kehilangan seluruh harta bendanya, Haniah pernah bekerja melinting rokok hingga membuat bunga dari plastik.

“Siapa lagi yang bisa diharap? Bekerja sendirilah,” kata Haniah.

Tengku Muhammad Yasir yang setahun lebih muda dari Haniah kini juga menetap di Medan, di Jalan Sisingamangaraja. Tragedi Maret 1946 masih diingatnya dengan baik. Dengan gigi yang nyaris habis, dia masih lancar bercerita. Begitu juga dengan Tengku Rahimah, yang kini masih setia mendampingi Yasir. Takdir kemudian memang mempertemukan mereka berdua. Yasir dan Rahimah menikah pada 1950.

Hingga hari ini, tak ada pengusutan sekaligus mendapatkan siapa penanggungjawab dari pembantaian massal di Sumatera Timur. Mereka yang menjadi korban pun tak semuanya terdata.

Dan apa yang menimpa Sumatera Timur ini juga terjadi di banyak negeri. Sebut saja Bandung dan Surakarta di Pulau Jawa atau Bali. Dan, sebagaimana Sumatera Timur, kekacauan demi kekacauan dan penyerangan demi penyerangan yang juga terjadi pada Maret 1946, atau bulan lain pada 1946, bahkan tak tercatat dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Tak ada pengusutan, tak ada pengungkapan, tak ada penanggungjawab, tak ada pelajaran yang bisa dipetik, tak ada ingatan, tak ada manfaat yang terasa. Yang ada hanya kematian dan kehancuran

Migrasi manusia Dari Sungai Mekong ke Melayu

mekongSungai Mekong, yang berukuran 4180km panjang, bermula dari Tibet dan melalui Yunnan, wilayah China, Myanmar, Thailand, Laos, Kemboja dan Vietnam. Pakar-pakar Antropologi menjejaki migrasi masyarakat Melayu Proto, yang merupakan pelaut, lebih kurang 10,000 tahun dahulu apabila mereka belayar menggunakan perahu di sepanjang Sungai Mekong dari Yunnan sehingga Laut China Selatan dan akhirnya mendiami di tempat-tempat berbeza.

Yunnan
Penduduk-penduduk awal Yunnan dapat dijejaki dalam sejarah sejak 170 juta tahun dahulu dari sebuah fosil homo erectus, ‘Manusia Yuanmou’,yang dijumpai pada tahun 60-an. Pada tahun 221 SM, Qin Shihuang berjaya menakluk Yunnan dan menyatukan China dan sejak itu mula menjadi sebuah wilayah dalam China. Mereka ini terkenal dengan teknik menanam tanaman padi untuk dibuat nasi.

Teori migrasi Yunnan

teori-yunan

Teori Melayu Proto berasal dari Yunnan disokong oleh R.H Geldern, J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen, Slametmuljana dan Asmah Haji Omar. Melayu Proto (Melayu asli) yang pertama sekali datang mempunyai kemahiran dalam bidang pertanian sementara golongan kedua, Melayu Deutro yang tiba sekitar tahun 1500 SM dan mendiami pesisir pantai mempunyai kemahiran menangkap ikan yang tinggi. Semasa berlakunya migrasi itu, kedua-dua golongan berkahwin dengan masyarakat-masyarakat dari pulau-pulau selatan seperti Jawa, serta penduduk tempatan yang berasal dari keturunan Australasia dan Negrito. Walaubagaimanapun masih terdapat beberapa pihak yang tidak mempersetujui teori ini.

Antara bukti-bukti lain yang menyokong teori ini termasuklah:

* Alatan-alatan batu yang dijumpai di Kepulauan Melayu sama dengan alatan-alatan dari Asia Tengah.
* Persamaan adat resam Melayu dan Assam.
* Bahasa Melayu dan Bahasa Kemboja adalah serumpun kerana tempat asal orang-orang Kemboja berasal dari sumber Sungai Mekong.

Delta Mekong
Menurut sejarah Khmer, tamadun terawal ialah tamadun Khmer Funan di Delta Mekong. Empayar Khmer Angkor ialah yang terakhir sebelum mereka mencari perlindungan di pelbagai tempat. Palembang dan Melaka adalah antara tempat berkenaan. Bukti-bukti arkeologi mendapati penduduk awal Kemboja adalah penduduk dari budaya zaman Neolitik. Mereka mahir dalam kemahiran teknikal sementara kumpulan yang lebih maju yang tinggal di pesisir pantai dan lembah Delta Mekong menanam padi.

Teks Melayu Tertua

sungai

Teks silam Melayu yang dijumpai di Kedukan Bukit, Palembang tahun D mempunyai persamaan dengan muka pintu Yunnan 2006.

Inskripsi Batu Bersurat Kedukan Bukit tahun 682 yang dijumpai di Palembang dan tulisan tradisional masyarakat minoriti Dai adalah berasal bahasa-bahasa Pallava. Etnik Dai Yunnan adalah salah satu penduduk asal wilayah Yunnan, China.

Hubungan Melayu – Cham
Persamaan Bahasa Cham dan Bahasa Melayu dapat ditemui pada nama tempat-tempat seperti Kampong Cham, Kambujadesa, Kampong Chhnang dan sebagainya. Sejarah Melayu dengan jelas menyebut terdapatnya komuniti Cham di Melaka sekitar tahun 1400. Pada pertengahan tahun 1400 apabila Cham tewas kepada orang-orang Vietnam, lebih kurang 120,000 orang terbunuh dan pada sekitar tahun 1600 Raja Champa memeluk Islam. Pada sekitar tahun 1700 raja Muslim terakhir Champa Pô Chien mengumpulkan orang-orangnya dan berhijrah ke selatan Kemboja sementara mereka yang tinggal sepanjang pesisir pantai berhijrah ke Terengganu dan ada yang ke Kelantan.
Klik untuk gambar besar.
Wanita Yunnan hari ini juga memakai kain batik dan sarong. Perkara ini adalah satu persamaan dengan para wanita Melayu.

SEKILAS TENTANG PARTUTURAN

PARTUTURAN

 

  1. Pengertian Partuturan
    Adapun yang dinamai “partuturan” ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT (Dalihan Na Tolu). Sesuai dengan adanya 3 unsur itu maka macam hubungan kekeluargaan pun ada tiga, yaitu:
    1. Hubungan kita dengan “dongan sabutuha”.
    2. Hubungan kita dengan “hulahula”.
    3. Hubungan kita dengan “boru”.

Sudah barang tentu kita harus menjaga dan memelihara agar ketiga macam hubungan itu selalu berjalan dengan baik dan sempurna.

Ada 2 buah filsafat Batak tentang itu:
1) “Habang binsusur martolutolu,
Malo martutur padenggan ngolu.”
Artinya: Kebijaksanaan menghadapi ketiga unsur DNT akan memperbaiki penghidupan.

2)”Habang sihurhur songgop tu bosar,
Na so malo martutur ingkon maos hona osar.
Artinya: Kebodohan, kelalaian dan keserakahan dalam menghadapi ketiga unsur DNT akan membuat orang tergeser-geser. Maksud “tergeser-geser” (bahasa Batak “hona osar’) ialah terpaksa berpindah-pindah tempat, karena tak disukai orang, akibatnya melarat.

Berhubung dengan kedua filsafat itu, maka nenek moyang orang Batak meninggalkan 3 buah petuah atau pesan untuk keturunannya, sebagai berikut:

1) “Manat mardongan tubu.”
Pada waktu ini acap kali diperlengkapi dan berbunyi: “Molo naeng ho sanggap, manat ma ho mardongan tubu.” Artinya : Jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan “dongan sabutuha” (teman semarga).
Keterangan tentang pesan pertama ini sebagai berikut.
Adapun “dongan sabutuha” itu dipandang oleh orang Batak sebagai dirinya sendiri dan dalam pergaulan antar mereka sehari hari tidak dihiraukan segi basa basi, sehingga adik acap kali tidak hormat terhadap abangnya dan demikian juga anak terhadap paktua dan pakciknya, hal mana acap kali menimbulkan perasaan kurang senang di pihak yang merasa dirugikan. Maka untuk menghindarkan itu diberilah oleh leluhur kita pesan yang tersebut di atas, agar kita hati-hati menghadapi “dongan sabutuha” kita. Untuk itu harus kita periksa dahulu kedudukan “dongan sabutuha” itu dalam “tarombo” (tambo, silsilah keturunan terhadap kita). Pada waktu ini tidak sulit lagi memeriksa hal itu. Tiap orang Batak yang tahu “tarombo”nya mengetahui tingkat generasinya pada “tarombo”-nya itu. Misalnya “dongan sabutuha” kita itu bertingkat generasi 16 dan kita sendiri tingkat 17, maka ia masuk golongan ayah kita. sehingga ia harus kita hormati sebagai ayah kita sendiri. Kalau ada jamuan makan janganlah kita mempertahankan tempat duduk kita di “juluan” (tempat terhormat) kalau nampak seorang “dongan sabutuha” dari golongan lebih tinggi (abang, ayah atau nenek) belum mendapat tempat yang layak, tetapi kita harus mempersilakan dia. duduk di tempat duduk kita sendiri, sekalipun menurut umur, kita lebih tua dari dia.
Dalam hal kita lebih tua dari dia, maka “dongan sabutuha” itu yang tentu juga mengetahui pesan leluhur kita itu, tidaklah akan gegabah terus menerima ajakan kita itu, tetapi dengan spontan ia akan menolak serta berkata, “Ah, tidak, yang tua-tua harus di hormati, tinggallah di situ, terimakasih.” Dalam pada itu ia sudah senang dan puas karena penghormatan kita itu. Dalam hal musyawarah pun atau pada rapat menyelesaikan perselisihan hendaklah kita selalu mengindahkan betul-betul basa-basi terhadap “dongan sabutuha”. Dengan jalan demikian maka semua “dongan sabutuha” akan selalu solider atas tindakan tindakan kita dan akan menghormati dan menghargai kita dengan sewajarnya; hal ini berpengaruh juga kepada orang disekeliling kita.

  1. Pengertian Parsubangon

Adapun yang dimaksud dengan peraturan “parsubangon” ialah peraturan-peraturan pantangan (parsubangon = yang dipantangkan). Tujuannya ialah menertibkan anggota-anggota keluarga terlebih-lebih yang berlainan jenis kelamin dalam pergaulan sehari-hari agar pergaulan itu tetap berjalan di atas rel yang telah ditetapkan oleh peraturan-peraturan DNT dan terutama mengenai penghormatan terhadap’ “hulahula” dan terhadap orang tua. Misalnya, kita dengan istri saudara lelaki istri kita (bahasa Bataknya “bao” tidak boleh berbicara secara. bebas, apa lagi bersenda guraur. Apa sebab? Saudara istri kita itu adalah “hulahula” yang paling dekat kepada kita. Maka istrinya pun harus menerima penghormatan sebagai “hulahula”, malahan harus lebih daripada yang biasa karena dia itu adalah seorang wanita dah tentang “Ina” (ibu) filsafat Batak berbunyi :

  1. “Sada sangap tu ama, dua sangap tu ina.”
    Artinya : Satu penghormatan terhadap bapak, tetapi dua terhadap ibu.

Maksudnya : Di samping menerima penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak, maka ibu harus lagi menerima penghormatan istimewa, karena ibu itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan tertinggi dalam rumah tangga orang Batak.

Terhadap istri adik laki-laki kita pun kita harus berlaku sama seperti terhadap “bao” tersebut, sesuai dengan filsafat Batak:

  1. “Marboras ia singkoru, marmutik ia timbaho,
    Dos do na maranggi boru dohot halak na -marbao.”
    Artinya : Penghormatan terhadap istri adik kita sama dengan penghormatan terhadap istri saudara lelaki istri kita.
  2. Perkembangan Partuturan

Adapun yang menjadikan adanya “partuturan” itu sebenarya hanya dua dasar, yaitu: 1) Semarga, dan 2) Tidak semarga.

Yang pertama (semarga) menjadikan “pardongan sabutuhaon” (hal berteman semarga) dan yang kedua (tidak semarga) menjadikan “parhula ianakkonon” (hal ber “hulahula” dan ber “boru”). Diantara kedua golongan “partuturan” itu maka “pardongan sabutuhaon” lah yang tetap (abadi) dan tak dapat hapus atau hilang, sedang “parhula ianakkonon” dapat luntur dan pudar jika tidak diulang-ulang oleh generasi-generasi yang berikut dan dapat lenyap kalau terjadi perceraian antara suami istri. Namun “parhula ianakkonon” itu sama saja kedudukannya dalam DNT dengan “pardongan sabutuhaon”.

Perbedaan yang unik antara kedua macam hubungan kekeluargaan itu ialah: “pardongan sabutuhaon” boleh dikatakan statis (tak berubah) yaitu kalau saya bermarga Nababan maka hanya orang-orang yang bermarga Nababanlah “dongan sabutuha” saya. Lain halnya dengan “hulahula” dan “boru” yang keduanya berkembang-dengan cepat dan pesat. Ingatlah, bahwa tiap kali ada pesta perkawinan dalam lingkungan keluarga kita berarti perluasan kekeluargaan kita, yaitu bertambahnya “hulahula” dan “boru”.

Pemahaman Paradaton Adat Batak Pudun Saut

sinamot

I. Ragam Goar  “ Marhata Sinamot”

a.  Marhata Sinamot:
Manghatai langsung di jolo ni raja mangajana na hombar tu rencana ulaon unjuk; ( didia ulaon, sinamot, upa tulang, ulos, jambar dll). Anggo aslina boi do ndang adong kesepakatan di namarhata sinamot, sehingga perkawinan gabe sundat manang ditunda dipaganjang tingki
Anggo nuaeng on, hira dos do pangantusion namarhata sinamot dohot pudun saut. Anggo dung do adong marhusip (nunga sude disepakati) apalgi nunga “martumpol” lapatanna tinggal pengesahan secara adat aha naung nihatai di na marhusip.b. Pudun Saut:
Pengesahan secara adat (dijolo ni sude raja)  aha naung menjadi kesepaktan naung dihatai hasuhuton na dua  ditingki marhusip
Sian pangantusion on, “ Pudun Saut” nama goaron aha na nidokna “marhata sinamot” nuaeng, alana nunga sudena jolo dihatai di marhusip dohot nunga diulahon acara “martumpol” asing ni anggota gereja na so patupahon acara martumpol. Jadi napinamas nuaeng on  : “Pudun Saut” do goarna ndang marhata sinamot be.II. Ragam Goar ni Sinamot

1. Sinamot Sitombol
Ulaon adat nagok dialaman ni parboru, dohot sinamot hibul, terpisah sian suhi ampang naopat godangna 40%  Na 40% dibagi oleh pangamai, pamarai, simolohon dohot tulang, masing-masing 10%. Sude namosok ( daging kerbau dan keperluan makanan) ditanggung paranak. Sebalikna, parboru mangalehon  juhut  songon ganti ni dengke na digoari sila sian jenis lombu sitio-tio (tong do diusung dengke) dohot ogung sabangunan songon sarana “tata ibadah” tradisional.
Catatan :

Pemahaman na deba sinamot sitombol ima godang ni sinamot naung disepakati , nunga disi sude (lump sump) kewajiban-kewajiban paranak asing ni panandaion di alaman  tu suhi ni ampang na opat ni  parboru (pangamai, pamarai, pariban, tulang), lapatanna  masing-masing  paranak dohot parboru masinangkohi tangga ni balatukna be, alai di parboru ulaon.

2.  Sinamot “Hibul”.
Sarupa dohot sinamot  sitombol alai gondang dohot dengke sila dang diwajibkan jala alaman ulaon unjuk dang ingkon  di alaman ni parboru, alai hombar tu kesepakatan nama.

3.  Sinamot “Rambu Pinungu”.
Rambu pinungu ima godang ni sinamot naung disepakati , nunga disi sude (lump sump) kewajiban-kewajiban paranak asing ni panandaion di alaman  tu suhi ni ampang na opat ni  parboru (pangamai, pamarai, pariban, tulang), lapatanna  masing-masing  paranak dohot parboru masinangkohi tangga ni balatukna be.

Tekhnis  mangulahon, dipatorang do anon di “Buku Pedoman Acara Perkawinana Adat Na Gok”

III. Si Jalo Sinamot

Opat (4)  bagian si jalo sinamot:
1.   Sijalosinamot, apala bona ni hasuhuton, pangintubu boru muli

2.   Sijalo todoan
a. Tulang ni boru muli
b. Pamarai, salah satu suhut namartinodohon
c. Simandokkon, iboto ni boru muli naung sohot
d. Pariban, haha manang anggi ni boru muli naung sohot
3.   Sijalo Pingganpangan, tutur na solhot manang paidua ni  partodoan
4.   Sijalo Upamanggohi, tutur na asing, surung-surung manang pasituak na tonggi  angka natuatua na asing

IV. Na taripar sian Parboru tu Paranak

Tolu (3) na taripar sian Parboru tu Paranak
1.  Taripar sian Suhut Parboru tu Paranak
a.  Pauseang, ulos na so ra buruk
b.  Ulos Pasamot/Pansamot dohot ulos hela
2.  Ulos herbang sian Partodoan ni Parboru tu Partodoan ni Paranak:
a.  Tu Pamarai, haha anggi ni  natoras ni Pangoli.
b.  Tu Simanggokhon, haha/ anggi ni Pangoli
c.  Tu Namboru ni Pangoli
d.  Tu sihunti ampang, iboto  ni Pangoli
Partodoan ni Paranak on, didok do tong songon suhi ampang na opat ni Paranak.
3.  Ulos ulos, manang ulos tonunon sadari, tu tutur na asing na ginokkon ni Paranak.

V. Juhut, Parjuhut

Juhut (daging yang dimakan na niusung paranak) dan parjuhut (jenis hewan utuh yang dijadikan makanan)  dalam acara adat na gok perkawinan, mansai bagas do maknana.
Hewan Parjuhut na binoan manang diserahkan paranak tu parboru , ingkon sada hosa na utuh songon simbol ganti ni hosa manusia (boru) na diserahkan parboru tu paranak.
Sai hewan na tumimbo do (horbo) dibaen parjuhut, jala juhut na niusung paranak holan parboru do mangallang i. Songon sipanganon ni paranak dibaen parboru ma lombu sitio-tio   singkat ni dengke na ginoaran “ sila”.
Anggo aslina holan daging na niusung ni paranak i do na dipangan di ulaon unjuk i.  Hombar tu tudu-tudu ni sipanganon i do juhut na pinangan i.
Jadi molo tudu-tudu sipanganon horbo, ba daging ni horbo i na diseat i ma sipanganon. Molo lombu sitio-tio tudu-tudu ni sipanganon, daging ni lombu i ma napinangan. Lapatanna ndang boi holan tudu-tudu sipanganaon sajo lombu sitio-tio sipanganon manuk, alana secara filosofi ndang juhut namarhosa (sian sada hosa) na utuh be i. Molo tarjadi na songon on, holan jagar-jagar (rambingan) nama tudu-tudu ni sipanganaon i, na menjadi pelecehan tu makna ni parjuhut i, jala melecehkan pengorbanan ni parboru i sandiri naung mangalehon boruna i.

horbo

VI. Tudu-tudu ni Sipanganon & Jambar.

1.  Tudu-tudu ni sipanganon.
Bukti sada hosa (hewan) na utuh do na binoan i. Porlu botoon, di huta ni parboru pe ulaon, paranak do na mamboan parjuhut i. Lapatan filosofina  paranak do mangalai  lombu/horbo i tu huta ni parboru jala halahi do paturehon/mangalompa.

2   Jambar
Jambar, ima namargoar ditamba bagian naasing na   sibagihonon songon hatorangan mengenai jambar, songon tanda penghargaan, pengakuan legitimasi kehadiran ni  angka raja na ro hombar tu status manang fungsi ni nasida di ulaon i. Pedoman parjambaran naung disepakati di Batam (Solup Batam) ima:
Pedoman Parjambaron di Ulaon Unjuk 

No Goar ni Jambar HASAHATANNA
Pinahan Lobu Lombu Sitiotio *
(Jambar Masak)
Parboru Paranak Parboru Paranak
(1) ULU
a Namarngingi  parhambirang

 

Tulang Tulang
b Namarngingi parsiamun

 

Tulang Tulang
c Panahui Siamun Boru Boru
d Panahui hambirang Boru Boru
e

 

Osang Hula-hula Hula-hula
(2) Aliang  (a) Rungkung/ ½ ½
(3)

 

Panamboli *
(5 rusuk)
himpal himpal
(4)

 

S oit 2 2 2 2
(5)

 

Handang/Rusuk/ Somba-somba ( 3 rusuk) 2 1 2 1
(6) Upasira/Ihur

 

himpal himpal

Onma sebagai pedoman, alai na mengikat hula-hula ma namangalehon tu paranak jambar songon “ulu dengek mulak”  hombar paradaton di huta i, alana  paranak nunga menyerahkan “ tudu-tudu ni sipanganon /panggoari ni sipanganon”  tu parboru hombar tu mkana juhut & parjuhut naung pinatorang di bagian V

VII. Dengke.

Molo mangihuthon tradisi, religius magis dengke sakral mempunyai  kekuatan magis, sada sarana ni hula-hula laho mamasu-masu mamindahon sahalana tu boruna. Ala ni sian hula-hula/pihak na adong alur mamindahon sahala do na adong maknana napasahat dengke. Ala na di hakaristenon hita, simbol nama i, ndang adong be nilai sakral na.

Ala ni i di tingki Acara Adat Perkawinan, naengma holan “dengke ni hula-hula”  napinasahat  secara khusus/ dohot acara dung dipasahat paranak tudu-tudu ni sipanganon asa tangkas makna dohot nilai luhur ni adat i. Alana molo na asing sarupa dipasahat ndang gabe sarupa nama dohot na asing gabe mago  nilai dohot makna ni dengke hula-hula i. Molo tung adong pe dengke naasing dipasahat ma i rup boras dpramasuk nasida, dicatat jala digorahon ma angka ise si usung dengka.

VIII. Ulos Herbang. (Bereng pemahaman makna ni ulos)Ulos Namarhadohoan

No Uraian Yang Menerima Keterangan
A Kepada Paranak
1 Pasamot/Pansamot Orang tua pengenten pria
2 Hela Pengenten
B Partodoan/Suhi Ampang Naopat
1 Pamarai Kakak/Adek dari ayah pengenten pria
2 Simanggokkon Kakak/Adek dari pengenten pria
3 Namborunya Saudra perempuan  dari ayah pengenten pria
4 Sihunti Ampang Kakak/Adek perempuan dari  pengenten pria
Ulos Kepada Pengenten
No Uraian Yang Mangulosi Keterangan
A Dari Parboru/Partodoan
1 Pamarai 1 lembar, wajib Kakak/Adek dari ayah pengenten wanita
2 Simandokkon Kakak/Adek laki-laki dari pengenten wanita
3 Namborunya (Parorot) Iboto dari  ayah pengenten wanita
4 Pariban Kakak/Adek dari  pengenten wanita
B Hula-hula dan Tulang Parboru
1 Hula-hula 1 lembar, wajib
2 Tulang 1 lembar, wajib
3 Bona Tulang 1 lembar, wajib
4 Tulang Rorobot 1 lembar, tidak wajib
C Hula-hula dan Tulang Paranak
1 Hula-hula 1 lembar, wajib
2 Tulang 1 lembar, wajib
3 Bona Tulang 1 lembar, wajib
4 Tulang Rorobot 1 lembar, tidak wajib
Catatan: Hula-hula namarhahamaranggi dohot hula-hula anak manjae    ndang ingkon ulos tanda holong nasida boi ma nian bentuk hepeng, songon na pinatorang. Songoni angka na asing na marholong ni roha.

Profil Kabupaten Simalungun

 

JR saragih

LAHAN pertanian yang subur dan luas menjadi modal utama perekonomian Simalungun dan menjadikan daerah ini lumbung padi terbesar kedua Sumatera Utara setelah Kabupaten Deli Serdang. Terletak pada ketinggian 369 meter di atas permukaan laut, Simalungun mampu menarik perhatian masyarakat luar daerah sejak zaman kolonial.

Kehadiran pemerintahan kolonial memberi arti penting bagi perkembangan pertanian. Irigasi yang bersumber dari bendungan, salah satu bentuk pembangunan zaman kolonial, dimanfaatkan petani untuk mengairi sawah.

Lahan sawah, termasuk ladang, tersebar merata di setiap kecamatan. Tahun 2001 misalnya, petani Simalungun memproduksi beras 293.179 ton, 190 persen dari kebutuhan lokal. Simalungun setiap tahun surplus beras yang disalurkan ke daerah sekitarnya melalui Dolog maupun pasar tradisional.

Swasembada pangan Simalungun teruji puluhan tahun dan masih akan terus berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, niat petani menanam padi tidak begitu kuat. Tahun 1995, petani bersemangat menanam kelapa sawit sehingga tidak sedikit lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Alih fungsi lahan ini tidak mengganggu Simalungun sebagai penghasil beras. Produksi beras Simalungun tahun 1995 surplus 149.255 ton.

Selain padi, daerah ini juga penghasil utama palawija. Jagung, ubi jalar, ubi kayu, dan kacang tanah menempati urutan pertama dan kedua produksi terbesar di Sumatera Utara.

Dukungan tenaga kerja pertanian tanaman pangan sangat besar. Kecamatan Dolok Panribuan dan Tanah Jawa yang berbatasan dengan Kabupaten Asahan di timur serta delapan kecamatan lainnya di barat merupakan daerah-daerah dengan tenaga kerja pertanian tanaman pangan lebih dari 50 persen. Kecamatan Dolok Silau yang berbatasan dengan Kabupaten Karo di barat menjadi penyedia tenaga kerja pertanian tanaman pangan terbesar (83,4 persen). Sementara Kecamatan Tapian Dolok yang berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang menjadi daerah dengan sebaran penduduk merata dalam lapangan pekerjaan: pertanian tanaman pangan, perkebunan, pertanian lainnya, industri pengolahan, serta jasa.

Potensi perkebunan semakin memantapkan pertanian sebagai sektor unggulan. Kegiatan ekonomi daerah tahun 2001 Rp 4,2 triliun, 62 persen disumbang oleh pertanian. Di sektor pertanian, hampir 50 persen ditunjang hasil perkebunan.

Kelapa sawit menjadi komoditas utama. Tahun 2001 tak kurang 489.335 ton dihasilkan dari areal 24.787 hektar. Kelapa sawit merupakan produksi perkebunan rakyat terbesar kedua di Sumut setelah Kabupaten Labuhan Batu. Perkebunan besar dengan lahan hampir 70.000 hektar kelapa sawit memproduksi sekitar satu juta ton tahun 2001. Karet dan cokelat menjadi pendukung kontribusi perkebunan. Saat ini ada dua badan usaha besar yang dikelola pemerintah dan swasta.

Jumlah tenaga kerja perkebunan tidak merata di setiap kecamatan. Ada tiga kecamatan dengan tenaga kerja setidaknya 20 persen, yakni Dolok Batu Nanggar, Jorlang Hataran, dan yang terbesar Sidamanik (28,5 persen) berbatasan langsung dengan Danau Toba.

Fluktuasi produksi karet dialami oleh perkebunan yang dikelola pemerintah lima tahun terakhir. Setelah penurunan produksi tahun 1997, tahun 2001 meningkat 38 persen dari tahun sebelumnya menjadi 8.608 ton. Peningkatan produksi sangat tajam juga terjadi pada komoditas cokelat. Tahun 2000 perkebunan hanya memproduksi 2.076 ton kakao. Setahun berikutnya naik menjadi 13.630 ton. Namun, ini masih di bawah produksi tahun 1999 yang mencapai 16.032 ton.

Tanaman yang membuat prihatin adalah teh. Produksi teh yang terpusat di Kecamatan Raya dan Sidamanik ini mulai anjlok. Penurunan produksi secara tajam dimulai tahun 2000, dari 100.498 ton tahun sebelumnya menjadi 75.796 ton, dan tinggal 15.340 ton tahun 2001.

Dalam menjual hasil panen, petani Simalungun sangat bergantung pada pedagang dan tengkulak, yang sebagian besar dari luar daerah. Kehadiran industri besar, seperti PT Good Year Sumatra Plantations yang didirikan tahun 1970, cukup membantu petani memasarkan hasil panen mereka. Meskipun memiliki perkebunan sendiri, perusahaan pengolahan karet ini mampu menampung karet hasil perkebunan rakyat. Setelah diolah menjadi bahan setengah jadi, produknya dijual ke luar daerah dan ekspor.

Melihat produksi pertanian yang melimpah, sepantasnya Pemerintah Kabupaten Simalungun memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan industri pengolahan. Meski masih belum maksimal, aktivitasnya mampu memberikan kontribusi Rp 721,6 miliar. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam bidang ini di berbagai kecamatan memang masih sedikit, satu sampai empat persen. Satu-satunya kecamatan dengan jumlah tenaga kerja besar dalam bidang ini adalah Tapian Dolok, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang, dengan 12,7 persen tenaga kerja.

Perpaduan pengembangan antara pertanian sebagai sumber bahan baku, industri sebagai wahana pemberi nilai tambah, dan perdagangan akan menjadikan Simalungun sebagai daerah agroindustri, agrobisnis, dan juga agrowisata.

Jhon Hugo Silalahi, luas 4.369 km2, 21
kecamatan, 237 desa, 14 kelurahan (251), penduduk
855.591 jiwa, 184.132 KK.

Simalungun di Tengah Eksistensi

  1. Pengantar
    Isu pemekaran Simalungun sedang hangat-hangatnya dibicarakan di Simalungun sekarang ini. UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
  2. Pengantar

Isu pemekaran Simalungun sedang hangat-hangatnya dibicarakan di Simalungun sekarang ini. UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab II Pasal 5 ayat 4 mengatakan, “Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup: faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.” Dan di Bab I Pasal 2 ayat 9 disebutkan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Hal ini menegaskan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yang memberikan ruang bagi terpeliharanya warisan sejarah dan kultur dari sebuah daerah seperti Kabupaten Simalungun yang senama dengan etnis Simalungun sebagai penduduk aslinya. Untuk itu, dalam tulisan ini penulis berusaha untuk menjelaskan jalan sejarah Simalungun dari sisi eksistensinya di Sumatera Timur sebelum kemerdekaan-yang menurut hemat penulis penting dalam memutuskan pemekaran Simalungun. Wacana pemekaran dan gerakan pro-kontra hendaknya dicermati dan dipertimbangkan dari berbagai aspek, khususnya aspek historis, kultur dan sosiologinya Simalungun, agar pemekaran – yang katanya untuk mensejahterakan masyarakat tidak berbalik menjadi ajang menyengsarakan rakyat kecil dan hanya menguntungkan para elite politik yang berebut kekuasaan.

  1. Simalungun dalam Administrasi Kolonial

Dari catatan pejabat-pejabat kolonial Belanda nama “Simalungun” boleh disebut relatif baru, pada ekspedisi Controleur Labuhan Deli, JAM van Cats Baron de Raet pada 28 Desember 1866, daerah ini masih disebut Timoerlanden (Tanah Timur) (Tideman, 1922:211-213). Sedangkan JA Kroesen controleur Labuhan Ruku dalam laporannya tahun 1890 menyebut Simeloengoen. Orang Karo hingga abad XX masih menyebut Batak Timur. Secara tertib administrasi kolonial Belanda, baru sejak 12 Desember 1906 nama Simeloengoen” dikukuhkan dengan dibentuknya Afdeeling Simeloengoen en Karolanden dalam lingkup Provinsi Oostkust Sumatra yang berkedudukan di Medan, yang pengesahannya dilakukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan Lembaran Negara (Staatsblad) No. 531 tahun 1906 di Batavia (Staatsblad No. 531). Pada tahun 1907 ketujuh raja-raja Simalungun meneken pernyataan takluk pada Belanda dengan Korte Verklaring. Lantas Simalungun dibagi atas tujuh daerah swapraja atau landschap yang berpemerintahan sendiri (otonom) dengan daerah distrik dan onder distrik sebagai berikut:

No Kerajaan/Landschap
Distrik/Partuana Raja/Zelfbestuur
1 Siantar
1. Siantar

  1. Bandar
  2. Sidamanik
    Damanik
    2 Tanoh Djawa
    1. Tanoh Djawa
  3. Bosar Maligas
  4. Djorlang Hataran
  5. Dolog Panribuan
    Sinaga
    3 Panei
    1. Panei
  6. Dolog Batu Nanggar

Prba Dasuha

4 Raya
1. Raya

  1. Raya Kahean
    Saragih Gaiungging

5 Dolog Silou
1. Dolog Silou

  1. Silou Kahean
    Purba Tambak

6 Poerba
Poerba Purba Pakpak

7 Silimahuta
Silimahuta Purba Girsang

Dengan suku bangsa Simalungun atau Batak Timur mempunyai jalan sejarah yang unik yang berbeda dengan suku-suku dan puak di Sumatera Utara ini. Jadi kalau kita bicara tentang Simalungun kita harus mengenal lebih dahulu siapa yang disebut Suku bangsa (halak) Simalungun itu.

III. Asal-Usul, Kependudukan dan Potret Kehidupan Tradisional

Sampai sekarang, asal-usul orang Simalungun masih diliputi oleh banyak misteri, sama halnya dengan asal-usul raja-raja Simalungun yang dibungkus oleh legenda dan mitos (Liddle, 1970:22). Sedikit saja sumber yang menjelaskan asal-usul raja-raja tersebut, itupun tidak mencerminkan asal-usul seluruh marga yang disebut halak Simalungun. Yang menarik, tidak satupun naskah kuno itu merujuk asal-usul raja-raja Simalungun dari Toba atau Tapanuli, malah Partikkian Bandar Hanopan mengacu pada Pagarruyung di Sumatera Barat sebagai asal-usul raja Dolog Silou, Panei dan Silimakuta (Lihat, Partikkian Bandar Hanopan: Naar his in Batakschrift op Paper Met Watermerk, 1845, Bundel VT. 238, hlm. 8-9). Dalam partikkian yang ditransliterasi Latin oleh P. Voorhoeve dan JE Saragih dijelaskan asal-usul raja Silou marga Purba Tambak yang disebut dari Pagarruyung-Sumatera Barat.

Dalam perbincangan penulis dengan Tuan Mr Djariaman Damanik mantan Kajati Sumut dan Bali, beliau mengatakan dari hasil penelitiannya, Suku bangsa Simalungun termasuk rumpun Proto Melayu yang berasal dari Hindia Belakang, diduga dari Nagore (India Selatan). Berdasar gelombang masuknya ke Simalungun, leluhur suku bangsa Simalungun kemungkinan besar berasal dari dua keturunan nenek moyang. Gelombang pertama dari Hindia Belakang melalui Aceh (pesisir timur) dan sebagian dari Singkel (pesisir barat) yang menurunkan marga asli Simalungun, Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (Sisadapur) yang kemudian menurunkan cabang-cabang marga, sedang gelombang kedua disebut merupakan peleburan suku-suku bangsa yang kemudian masuk ke Simalungun dan memakai adat dan budaya Simalungun yang secara populer disebut “namarahap Simalungun” yang berasal dari Toba, Samosir, Karo, Pakpak dan Jawa. (Purba, 1982). Selama berabad-abad nenek moyang suku bangsa Simalungun ini berdiam di pantai dan setelah masuknya orang-orang Melayu dari Malaka akibat serbuan Portugis tahun 1511 berangsur-angsur mereka terdesak hingga mencapai pedalaman Sumatera sampai ke pinggiran Danau Toba (Bnd. Batara Rangti, 1977, 148-152).

Ypes, etnolog yang lama tinggal di Tanah Batak menyebutkan bahwa suku bangsa Batak yang mendiami pegunungan sekitar Dolok Pusuk Buhit, leluhurnya semula berasal dari utara Pulau Sumatera yaitu di daerah Pasai dari sana menyebar ke Gayo-Alas dan sebagian lagi ke pinggiran Danau Toba. Neuman menyebutkan bahwa marga Tarigan yang ada di Tanah Karo berasal dari marga Purba di Dolog (Silou) Simalungun. Fakta ini oleh Neuman dihubungkannya dengan banyaknya cabang marga Tarigan yang persis sama dengan cabang marga Purba di Simalungun (Sinar, 1971-87). Lagipula tidak adanya marga Tarigan yang menjadi penguasa (sibayak) di Tanah Karo memberi kesan bahwa mereka adalah marga pendatang di sana. Dengan demikian dari penelitian para ahli di atas kemungkinan tradisi bermarga yang ada pada suku-suku bangsa rumpun Batak itu diawali ketika mereka masih berada di daerah Gayo, dan terformasi di daerah persebaran suku-suku bangsa tersebut dalam tahapan berikutnya.

Dengan begitu, anggapan yang menyatakan etnis Simalungun asli (Proto Simalungun) merupakan bagian “peralihan” dari suku bangsa Batak Toba dan Karo bertentangan dengan sejarah Simalungun. Tradisi lisan masyarakat asli Simalungun sebagaimana dituturkan MD. Purba menjelaskan kalau marga-marga Simalungun yang empat itu (Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba) bukan berasal dari Toba-Samosir, melainkan marga asli yang lahir dan mengalami perkembangannya masing-masing di Simalungun. Keempat induk marga (hoofdmargas) ini di kemudian hari menyebar ke luar daerah Simalungun yaitu Tapanuli dan daerah tetangga Simalungun, pada saat berkecamuknya serangan invasi pasukan ekspedisi dari Jawa-Hindu, Chola dan Aceh ke Simalungun

  1. Potret Kehidupan Tradisional
  2. Bahasa dan Aksara

Suku bangsa Simalungun mempunyai bahasa dan aksara tersendiri yang berbeda dengan suku-suku bangsa lainnya. Menurut penelitian P. Voorhoeve sebagai pejabat taalambtenaar di Simalungun sejak tahun 1937, bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun Austronesia yang lebih dekat dengan bahasa Sansekerta yang banyak mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan kekhasan bahasa Simalungun dibanding bahasa-bahasa yang dikategorikan ke dalam rumpun bahasa-bahasa Batak. Voorhoeve (Sinalsal No. 90/September 1938 hlm. 22-23), menyebutkan bahwa kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta ditunjukkan dengan huruf penutup suku mati uy, dalam kata apuy dan babuy, g dalam kata dolog, b dalam kata abad, d dalam kata bagod dan ah dalam kata babah, sabah juga ei dalam kata simbei, dan ou dalam kata sopou, lopou, Uli Kozok (1999:14), seorang filolog mengatakan bahasa Simalungun ditinjau dari sejarahnya merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari bahasa-bahasa Batak Selatan sebelum bahasa Batak Toba dan Mandailing terbentuk. Dari sini, nyatalah bahwa bahasa Simalungun lebih tua umurnya ketimbang bahasa Batak Toba dan Mandailing. Henry Guntur Tarigan (Saragih, 2000:339), menyebut empat dialek bahasa Simalungun: Silimakuta, Raya, Topi Pasir (Horisan), Jahe-jahe (dekat pesisir pantai timur). Ragam jenis pemakaiannya seperti berikut ini:

  1. Bahasa Tingkatan:

* Terhadap raja (kaum bangsawan) contohnya, paramba (hamba), dongan (beta), janami (baginda), modom (mangkat). Bahasa tingkatan ini sering dipakai oleh orang Simalungun dalam komunikasinya sehari-hari dengan raja atau keluarga kerajaan.

* Tingkatan usia, yaitu yang dipakai dalam pergaulan antara seseorang yang posisinya lebih muda dengan yang lebih tua dan sebaliknya atau sesuai dengan tingkatannya dalam partuturan (hubungan kekerabatan). Misalnya: ho dipakai yang lebih tua kepada yang lebih muda, ham dari yang lebih muda kepada yang lebih tua atau kepada yang derajatnya dianggap lebih tinggi, hanima sebutan untuk menyebut sekumpulan orang dalam posisi yang lebih rendah atau nasiam yang ditujukan kepada sekelompok orang yang lebih tua dari pembicara. Bagi orang Simalungun adalah tabu menyebut orang yang lebih tua dan sembahannya dengan kata ho atau hanima.

  1. Bahasa ratap tangis, dipakai pada saat berkabung, sesuai dengan hubungan kekerabatannya. Misalnya, inang na umbalos artinya bibi, si humoyon artinya perut, simanohut artinya mata, dan lain-lain.
  2. Bahasa simbol dengan memakai medium atau benda-benda tertentu dengan maksud menyampaikan maksud-maksud tertentu. Misalnya dalam permainan onja-onja di mana seorang pemuda memakai benang merah untuk menyatakan bahwa sampai mati akan tetap berjuang mendapatkan cinta gadis idamannya.
  3. Bahasa datu atau guru, bahasa yang dipakai para dukun dengan memakai bahasa mantera atau tabas yang merupakan campuran dari berbagai bahasa dengan maksud-maksud tertentu.

Dengan begitu, penelitian Voorhoeve dan filolog asing itu menegaskan kenyataan bahwa, suku bangsa Simalungun merupakan suku bangsa tersendiri yang memiliki bahasa, adat istiadat, kebudayaan dan aksara sendiri yang disebut aksara Surat Sisapuluhsiah.

  1. Sistem Mata Pencaharian

Secara umum mata pencaharian tradisional orang Simalungun sehari-hari adalah marjuma atau berladang dengan cara menebas hutan belukar (mangimas) yang mengolahnya untuk tanaman palawija seperti padi, jagung, ubi. Banyak proses yang harus dilalui ketika mereka membuka ladang baru dan keseluruhannya itu harus diketahui oleh gamot yang merupakan wakil raja di daerah (Purba, 1982:156). Biasanya, di antara perladangannya didirikan bangunan rumah tempat tinggal (sopou juma) sebagai tempat mereka sementara dan untuk melindungi mereka dari serangan binatang buas maupun menghalau binatang-binatang yang dapat merusak tanaman mereka. Selain itu ada juga yang mengolah persawahan (sabah) seperti di Purba Saribu dan Girsang Simpangan Bolon dengan luas yang relatif sedikit dengan cara-cara tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, mereka menenun pakaian (hiou) yang biasanya dilakukan oleh kaum ibu dan gadis-gadis. Mereka juga menumbuk padi bersama-sama dengan para pemuda di losung huta. Di sini biasanya, pada zaman dahulu para pemuda itu akan memilih pasangannya.

guru jason

Gr Jason Saragih na sikolah i Depok 1911 – 1915, pakon Inang ai Banimn br Damanik

Guru Jason Saragih menceritakan dalam otobiografinya, orang Simalungun di hilir (jahei-jahei) juga sudah ada yang berdagang hasil hutan dari Simalungun ke Padang Badagei di dekat pesisir timur bahkan sampai ke Penang di Semenanjung Malaka. Pedagang dari Aceh, Bugis, Asahan, dan Cina datang dari Bandar Khalipah melayari Sungai Padang ke hulu. Mereka membawa barang-barang dagangan kain, bedil, mesiu, timah, pinggan pasu, pahar, dondang, garengseng, kuali bahkan candu (opium). Hal ini dibuktikan dengan dipakainya banyak mata uang asing dalam transaksi dagang di Simalungun. Di samping menggunakan uang sebagai alat penukar, mereka juga mengadakan tukar menukar barang secara langsung dengan sistem barter. Pada masa kecil Jaulung Saragih orang Simalungun sudah memakai mata uang asing dalam transaksi dagang, seperti mata uang Spanyol dan Inggris yang disebut: ringgit alus, ringgit burung, ringgit tuha, ringgit tukkot (Saragih, 1977:35-36). Banyak peralatan dan hiasan tradisional Simalungun yang berasal dari luar Sumatera Timur. Di pantai Laut Tawar (horisan) penduduk biasanya menangkap ikan yang disebut martoba dan sebagian ada juga yang menjualnya ke pasar (tiga), seperti Haranggaol, Tambunrea dan Ujungsaribu dekat perbatasan dengan Karo (Tongging Sipituhuta).

  1. Kehidupan Sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari orang Simalungun sering diejek sebagai pemalas, penakut, tidak punya inisiatif, kurang giat bekerja. Hendrik Kraemer (1958:55) dalam kunjungannya ke Tanah Batak selama bulan Februari-April 1930 melaporkan bahwa dibanding orang Batak Toba, orang Simalungun berwatak halus, lebih suka menyendiri di hutan dan kurang bersemangat secara alamiah ketimbang orang Toba di tengah-tengah keriuhan modernisasi. Walter Lempp (1976:52), menyebutkan watak atau tabiat orang Simalungun yakni: “Orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali, tidak pernah keras dan meletus, meskipun sakit hati. Hal itu dimungkinkan karena suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang berkedudukan di Tanah Jawa”. Pejabat kolonial Belanda, Kroesen menyebut adanya ungkapan orang Simalungun “Djawa Silepahipoen” membuktikan hal ini. Sebenarnya Djawa Silopakipon artinya Djawa giginya putih, sebab orang Simalungun memiliki kebiasaan untuk mengikir giginya dan melumurinya dengan “saloh” (getah kayu berwarna hitam) hingga giginya berubah menjadi hitam. C.Westenenk menyebut bahwa, pada tahun 1365 koloni Jawa Hindu sudah terdapat di Sumatera bagian Selatan yang mendesak orang Minangkabau berimigrasi hingga ke Sumatera Timur (Tideman, 1922: 58-60).

  1. Tideman (1922:113-114) mengakui bahwa ada sifat yang kurang baik secara rohani maupun jasmani dari suku bangsa Simalungun (Timoer Bataks). Hal ini menurut Tideman disebabkan oleh tekanan yang begitu lama hingga bertahun-tahun antara lain oleh perbudakan (parjabolonan) dan peperangan. Selain itu, Tideman juga mengatakan bahwa praktek perjudian, candu merupakan penghambat kemajuan yang terbesar pada suku bangsa ini, khususnya di kalangan rakyat. Wabah penyakit juga menghambat mereka untuk lebih bersemangat dalam bekerja. Praktek kanibalisme yang banyak didengung-dengungkan oleh orang luar tentang suku-suku bangsa di pedalaman, menurut Tideman sudah tidak dipraktekkan lagi dan sesungguhnyalah bahwa orang Batak bukan kanibal sejati menurut anggapan sebagian orang.

Solidaritas suku bangsa Timur ini lebih rendah bila dibandingkan dengan orang Toba (Nota, 1909:538-539). Pengaruh kaum pendatang dan suku-suku bangsa tetangga juga turut membentuk karakter suku ini. Di dekat perbatasan dengan suku Batak Toba menonjol sifat-sifat Toba, demikian juga di dekat daerah orang Melayu di pesisir terasa adanya pengaruh agama Islam dan Melayu (Westenberg, 1904:9). Selain itu orang Simalungun juga kurang mau menonjolkan dirinya. Tentang kejujuran orang Simalungun berpedoman kepada falsafah hidup mereka yaitu “Habonaron do Bona, Hajungkaton do Sapata”. Orang yang tidak konsisten menjunjung tinggi falsafah ini diyakini akan mendapatkan hal-hal yang tidak baik. Falsafah ini juga berdampak pada pola pikir orang Simalungun yang sangat berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan. Sesuatu keputusan barulah diambil setelah dipikirkan masak-masak, dan tidak akan mengingkarinya (Damanik, 1984:25-27). Sebagaimana dalam ungkapan Simalungun, “Parlobei idilat bibir ase marsahap, bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Simalungun bukanlah tipikal manusia yang semberono atau terburu-buru dalam mengambil dan menentukan sebuah kebijakan atau keputusan, seluruhnya harus dipikirkan masak-masak dan keputusan itu adalah tetap, artinya tidak akan pernah berubah lagi.

  1. Struktur Sosial: “Tolu Sahundulan Lima Saodoran”

Masyarakat Simalungun dalam ikatan sosialnya terhisab ke dalam organisasi sosial yang disebut Tolu Sahundulan Lima Saodoran yang mengikat orang Simalungun dalam kekerabatan menurut adat istiadat Simalungun. Adapun Tolu Sahundulan itu terdiri dari : Tondong, Sanina, Boru. Sedangkan Lima Saodoran terdiri dari: Tondong, Tondong ni Tondong, Sanina, Boru dan Boru ni Boru (Anak Boru Mintori). Menurut D. Kenan Purba, adanya struktur (kerangka susunan) lembaga adat ini sekaligus memberi gambaran atau besar kecilnya suatu upacara adat itu menurut besar kecilnya perhelatan adat yang akan dilaksanakan.

Hubungan kekerabatan di kerajaan-kerajaan Simalungun diikat oleh hubungan kekerabatan lewat perkawinan (martondong-maranakboru). Hal ini dimungkinkan karena konsep puangbolon (permaisuri) dan puangboru (isteri yang pertama) yang merupakan prasyarat utama dalam menentukan seseorang menjadi pengganti raja sebelumnya. Untuk Kerajaan Raya dari marga Saragih Garingging, puang bolon haruslah puteri raja Panei, Badjalinggei atau Guru Raya dari marga Purba Dasuha, Kerajaan Purba dari marga Purba Pakpak haruslah putri raja Siantar dari marga Damanik, Kerajaan Dolog Silou dari marga Purba Tambak haruslah putri raja Raya dari marga Saragih Garingging, Kerajaan Panei dari marga Purba Dasuha haruslah putri raja Siantar marga Damanik, Kerajaan Siantar marga Damanik haruslah dari putri tuan Silampuyang atau Sipoldas dari marga Saragih Sidauruk dan Kerajaan Tanoh Jawa marga Sinaga Nadihoyong Hataran dari putri raja Siantar marga Damanik.

5.Stratifikasi Sosial

a.Golongan Partuanon (Upper Class)

Golongan bangsawan di tengah-tengah suku bangsa Simalungun disebut partuanon atau partongah. Partongah adalah yang dianggap sebagai kelas tertinggi di Simalungun. Baik partuanon maupun parbapaan status sosialnya ditentukan oleh hubungan darah antar keluarga kerajaan yang sesudah masuknya pemerintah kolonial Belanda dijadikan bagian dari distrik administratif pemerintah kolonial (Saragih, 1979:28). Raja dilihat oleh masyarakat Simalungun sebagai pribadi yang merupakan representasi kuasa ilahi di bumi dengan konsepsi “Naibata na taridah” (Tuhan yang kelihatan di bumi) dan itulah sebabnya kaum bangsawan (khususnya raja) disebut “toehanta” atau “radjanta” (toehannami atau radjanami/djanami). Liddle mengungkapkan adanya semacam pengakuan spontan dari masyarakat atau rakyat kerajaan bahwa apa pun yang raja lakukan dan perintahkan adalah hukum yang tidak dapat dibantah.

Wolfgang Clauss (1985:49) menyebut, kaum aristokrat tradisional Simalungun dipercaya dapat memberikan berkat dengan kekuatan supernatural power (kekuatan adikodrati) bersama penguasa bawahannya. Kebangsawanan Simalungun ditentukan oleh hubungan silsilah dari keturunan raja-raja mereka. Poligami merupakan hal yang umum di kalangan raja dan partuanon Simalungun, yang umumnya berasal dari puteri-puteri raja atau kaum bangsawan dari kerajaan atau partuanon lain, dalam rangka mempererat hubungan politik. Dari isteri-isteri raja, telah ditentukan satu di antaranya sebagai permaisuri utama yang disebut puangbolon yang biasanya sudah ditentukan menurut adat adalah puteri bangsawan dari kerajaan lain. Hanya putera yang dilahirkan puangbolon-lah yang menurut adat dapat diangkat menjadi raja (Tideman 1922: 108). Adapun isteri raja yang lainnya, diberi nama sesuai dengan kapasitas atau tugasnya sehari-hari di rumah bolon atau istana raja. Misalnya di Kerajaan Purba yang diperintah raja marga Purba Pakpak, puangbolon adalah putri raja Siantar bermarga Damanik dengan nasipuang yang lainnya, seperti: puang pardahan (yang mempersiapkan makanan untuk raja), puangparorot (khusus menjaga putera-puteri raja), puangpaninggiran (pemimpin pada upacara kesurupan dan paniaran), puang pamongkot (pemimpin upacara memasuki rumah baru), puang siappar apei (menggelar tikar di istana), puang siombah bajud (pemimpin pada saat upacara adat yang memakai sirih atau demban), puang bona (isteri pertama raja di mana putera yang dilahirkannya dapat diangkat menjadi raja apabila puang bolon tidak ada melahirkan putera raja), puang panangkut (isteri raja pimpinan upacara spiritual), puang mata (dengan tugas umum di rumah bolon), puang juma bolag (yang memimpin pekerjaan di ladang raja/juma bolag) (Purba, 1991:8). Pengaruh raja begitu kuatnya terhadap rakyatnya.

  1. Golongan Paruma (Rakyat Kebanyakan/Middle Class)

Golongan menengah disebut paruma, yaitu masyarakat merdeka. Status mereka bebas yang membedakan mereka dengan jabolon (hamba sahaya). Posisi paruma tidak selamanya permanen, ada kalanya seorang paruma terangkat statusnya menjadi partuanon dengan faktor-faktor dan proses tertentu, seperti pada saat raja memberinya gelar kehormatan atau beroleh kepercayaan/mandat dari raja sebagai wakilnya di daerah dengan pertimbangan loyalitas atau karena perkawinan.

Paruma yang kaya (paruma dongok-dongok) sering menjadi objek pemerasan, sehingga berbelanja ke pasar (tiga) selalu diusahakannya untuk membawa uang seperlunya. Demikian pula dari hasil buruan wajib dilaporkan kepada raja dan menyisihkan sebagian darinya untuk raja yang disebut dongkei raja. Raja juga berhak untuk meminta apa saja yang ia inginkan dari paruma, termasuk anak gadisnya; umumnya paruma tidak banyak yang menolak, karena adalah suatu kehormatan besar apabila raja memanggil tondong kepada mereka. Selain itu, paruma juga harus siap sedia apabila sesewaktu raja memerintahkan mereka untuk memobilisasi umum berperang melawan kerajaan lain. Itulah sebabnya mengapa menjamurnya padepokan persilatan (hadiharon) di Simalungun ketika itu.

  1. Golongan Jabolon (Hamba Sahaya/Lowest Class)

Sebelum dihapuskannya perbudakan di Simalungun sejak tanggal 1 Januari 1910 atas inisiatif kaum Kristen Simalungun kepada pemerintah kolonial Belanda, perbudakan adalah sesuatu yang lazim di Simalungun. Ini berkaitan dengan struktur masyarakat yang feodal. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi jabolon. Ter Haar (1933:7) yang pernah menjadi asisten residen di Simalungun menjelaskannya sebagai berikut: anakbabi, yaitu anak-anak terlantar yang tidak mempunyai orang tua yang jelas karena lahir dari perkawinan sumbang atau perzinahan, jabolon taban, yaitu orang yang menjadi budak karena kalah perang, jabolon gayang-gayang na tading, yaitu isteri dan anak laki-laki yang meninggalkan majikannya secara diam-diam dan akhirnya tertangkap kembali, jabolon ayoban, yaitu budak akibat kalah perang dan dijadikan sebagai rampasan, jabolon na dapot i parlintunan, yaitu budak yang melarikan diri dan tertangkap di perbatasan kerajaan, jabolon tarutang, yaitu budak akibat tidak dapat membayar hutang biasanya lazim karena kalah berjudi, jabolon tangga yaitu sekeluarga dijadikan budak karena alasan-alasan tertentu (Lihat juga Tideman, 1922:110-111).

Namun, secara umum kaum partongah dan orang-orang kayalah yang biasanya memiliki banyak budak yang disuruh untuk melakukan pekerjaan di rumah bolon atau di ladang raja. Di rumah bolon yang merupakan pusat sosial politik kerajaan Simalungun beratus-ratus budak dipekerjakan di sana. Dan masing-masing budak memiliki pimpinan masing-masing sebagai kordinator pekerjaan sehari-hari. Sebagai contoh di rumah bolon Kerajaan Raya pada zaman Tuan Rondahaim Saragih terdapat 100 budak laki-laki dan 100 budak perempuan, mereka sehari-hari melayani raja dan keluarganya serta seluruh gamot atau pejabat kerajaan (Saragih, 1977:259).

Umumnya para budak tinggal di rumah tersendiri yang diperuntukkan untuk kediaman mereka dan sangat sulit untuk menerima kebebasan mereka kembali, kecuali ada yang menebus mereka atau raja berkenan membebaskan mereka dari statusnya yang hina itu. Mereka juga dilarang untuk kawin di luar kelas mereka. Mereka dianggap sebagai milik majikannya dan bekerja tanpa diberikan upah. Perlakuan para raja dan majikan mereka kadang di luar prikemanusiaan dan pembangkangan terhadap perintah pimpinan tak jarang diganjar dengan hukuman yang sangat berat (Saragih, 1979:28-29).

Sumber :khairul ikhwan

Mesin-Mesin Perang Leonardo Da Vinci

 
Anda pasti tahu Leonardo Da Vinci. Seorang jenius yang pernah hidup pada abad pertengahan (1452-1519) ini ternyata juga pernah mendesain banyak jenis senjata, termasuk senapan mesin, mesin panah raksasa, menara kepung, bom cluster, dan bahkan cikal bakal tank modern.

1. Terminator Leonardo Da Vinci


Robot perang Leonardo Da Vinci baru ditemukan tahun 1957, saat Carlo Pedretti menemukannya di antara desain-desain Da Vinci lainnya yang tidak terhitung jumlahnya. Robot perang ini pertama kali disketsa oleh Da Vinci tahun 1495, disebutkan pertama pada tahun 1974, dalam Codex Madrid yang ditulis oleh Ladislao Reti, tapi baru mulai direkonstruksi ulang tahun 1996 oleh Mark Rosheim saat mempublikasikan sebuah studi independen mengenai robot bekerja sama dengan Florence Institute and Museum of the History of Science. Tahun 2002 Rosheim baru menyelesaikan keseluruhannya dengan membuat model fisik lengkap dari robot itu untuk sebuah dokumenter BBC. Sejak itu, sesosok prajurit yang yang dinamakan “Robot Leonardo” muncul di berbagai ekshibisi dan museum-museum.

Tahun 2007 Mario Taddei membuat penelitian baru mengenai dokumen-dokumen asli Da Vinci, menemukan data yang cukup untuk membangun sebuah versi dari prajurit robot itu, dengan lebih mendekati gambar desain aslinya. Robot ini didesain hanya untuk tujuan bertahan, tidak untuk perang. Gerakan-gerakannya seperti terbatas karena lengan-lengannya hanya bisa bergerak ke kanan dan ke kiri saat ditarik dengan sebuah tali. Model penting ini dipertunjukkan di berbagai ekshibisi di seluh dunia dan hasil penelitian Taddei telah dipublikasikan dalam bukunya “Robot-robot Leonardo Da Vinci”.

2. Senapan Mesin


Senapan mesin multi-laras merupakan sebuah senjata api yang hebat. Da Vinci mensketsanya sekitar tahun 1480 di Florence, mungkin sebagai jawaban atas kebutuhan raja akan seorang arsitek militer. Sebuah engkol tangan untuk mengatur elevasi dan reloading merupakan tantangan utamanya – terutama saat ditembakkan.
Meski kemampuan tembak cepat yang ada pada model senapan mesin berikutnya lebih baik, dengan desain yang luar biasa dengan mekanisme loading. Dengan melebarkan ruang tembaknya, prototipe Da Vinci dibuat dan menjadikannya sebuah senjata yang efektif melawan sebarisan pasukan. Ditambah lagi desain Da Vinci mudah dipindahkan di medan perang karena ringan dan ditempatkan di atas roda-roda.

3. Bom Cluster


Untuk membuat bombard atau cannon, sebuah senjata yang sudah dikenal saat itu, bahkan lebih mematikan, Da Vinci juga mendesain proyektil-proyektil besar, terdiri dari tempurung di sekeliling spacers besi dan dipasangkan di dalam casing yang lunak. Sekali ditembakkan, penemuan ini meledak menjadi banyak pecahan-pecahan. Hal itu menjadikan range tembak dan impact yang lebih besar daripada sebuah peluru cannon.

4. Kereta Perang


Ini adalah salah satu manuskrip Da Vinci yang paling cantik. Dia membuat sketsa kuda menarik kereta terbuka yang dilindungi dengan pedang-pedang tajam dan melingkar yang bergerak di tengah pertempuran, membunuh semua di dekatnya. Pedang-pedang yang berputar khusus didesain untuk menebas lengan-lengan korbannya. Dalam salah satu gambarnya, Da Vinci mengilustrasikan pembantaian dalam detil yang mengerikan.

5. Cannon Baris


Gambar ini ada pada halaman pertama dari Codex Atlanticus. Gambarnya sendiri sangat legkap dan mengagumkan, mengilustrasikan rencana sebuah bombard dengan 16 cannon dalam suatu lingkaran. Aspek yang paling menariknya adalah pada pusat bombard itu sendiri, yang merupakan tempat sepasang tongkat mekanis dan roda-roda gir, membuatnya seperti sebuah senjata yang sangat besar.

6. Tank


Yang ini mungkin adalah salah satu dari proyek Da Vinci yang paling dikenal. Idenya untuk membuat panik dan kehancuran pada pasukan musuh dituangkannya dalam kendaraan perang mirip kura-kura ini. Dalam sebuah proposal kerja untuk Duke of Milan, Da Vinci membual “Aku bisa membuat kendaraan perang, aman, dan tidak terkalahkan, yang akan merangsek masuk dekat pada musuh dengan artilerinya dan dibelakangnya dapat mengikutinya tanpa ada perlawanan.” Cikal bakal tank modern ini bisa bikin shock di medan perang abad 15-an, tapi ternyata desain ini memiliki kesalahan-kesalahan serius. Bahkan dengan beberapa modifikasi dia masih menghadapi berbagai kendala dan akhirnya menghentikan proyeknya.

7. Dinding Pertahanan



Da Vinci mendesain pula metode bertahan yang rumit dan mengagumkan. Saat dinding diserang, pasukan dibalik benteng pertahanan dengan cepat dan mudah mengelak dari musuh dengan satu pergerakan menggunakan sebuah sistem tuas. Saat musuh menggunakan tangga untuk menerobos dinding, tuas-tuas akan dikaitkan untuk menggerakan rel-rel pada dinding dimana tangga disandarkan sehingga musuh akan berjatuhan.

8. Ketapel


Desain dasar dari ketapel sudah digunakan ratusan tahun sebelum, Da Vinci menyempurnakannya. Dia membuat beberapa model yang berbeda-beda. Desain utamanya menggunakan per daun ganda untuk menciptakan energi besar untuk melemparkan proyektil-proyektil batu atau material-material yang dibakar hingga jarak yang jauh. Loading dua per daun besar dilakukan menggunakan sebuah engkol tangan pada sisi ketapel.

9. Benteng


Da Vinci mendesain benteng ini dengan ide mengutamakan kesalamatan dalam suatu serangan. Bentuk gabungannya inovatif dan bisa dijadikan bentuk pertahanan yang efektif dari serangan proyektil-proyektil artileri yang mematikan. Benteng Da Vinci banyak dianggap sangat modern dengan desain menara-menara bundar dan dinding eksterior yang sedikit miring untuk menyergap serangan-serangan bersenjata. Bagian paling pentingnya terletak di tengah, yang menurut gambar aslinya juga terdapat lorong-lorong bawah tanah rahasia. Sebagai tambahan, benteng ini juga dilengkapi dua lapis dinding konsentris, puncak di sekelilingnya, dengan maksud mengurangi impact tembakan cannon.

10. Cannon yang Mudah Dipindahkan


Cannon adalah senjata yang sangat berat dan kereta untuk mengangkutnya pun sering macet. Da Vinci mendesain suatu struktur yang dengan mudah bisa dilepas dan dipindahkan untuk kemudian dirakit kembali.

11. Springald


Springald, suatu alat yang melemparkan batu-batu atau kayu besar seperti sebuah panah dengan swing arms di dalamnya. Contoh dari springalds digambar oleh Da Vinci dalam satu waktu saat dia juga menggambar senjata-senjata powder-propelled. Meski beberapa contoh hasil rekonstruksi bisa dijumpai, tidak ada bukti arkeologisnya yang ditemukan. Sangat mungkin karena material dari senjata ini didaur ulang saat tidak digunakan lagi.

12. Helikopter Da Vinci


Leonardo Da Vinci dikenal sebagai penggagas pertama mesin yang terbang secara vertikal. Sketsa dari mesin terbang berbaling-baling tahun 1493 ini baru ditemukan pada abad 19. Terdiri dari sebuah wahana yang dipasangi baling-baling yang dikendalikan oleh suatu sistem yang belum sempurna benar. Desain ini bagaimana pun juga belum pernah digunakan. Da Vinci dikatakan sebagai penemu pertama yang secara praktis memperkenalkan mesin terbang heavier-than-air. Dia juga pernah meyakinkan bahwa suatu saat nanti jika manusia bisa terbang, itu akan menggunakan prinsip helikopternya. Dua ratus tahun kemudian memang terbukti mesin terbang prediksinya itu berhasil dibuat.
 
13. Kapal Perang


Gambar kapal perang Da Vinci memperlihatkan sebuah kapal kecil yang di haluannya dipasangi metal dan digunakan menyerang kapal musuh. Juga dilengkapi perisai pelindung yang berputar dan akan terbuka setelah serangan berlalu. Perisai pelindung melindungi dari kapal musuh dan membantu mendekati musuh. Perisai ini tidak akan dibuka untuk mengeluarkan cannon hingga setelah kapal perang ini meyerang kapal musuh atau berada terlalu dekat kapal musuh dan harus ditaklukkan. Perisai ini dipasang pada suatu sistem kerek (derek) yang bekerja sangat cepat. Sekali merendah ke air, perisai ini juga berfungsi sebagai rem untuk mencegah cannon bergerak. Perisai ditutup manual dengan kerekan.

14. Panah Raksasa


Panah ini demikian besar hingga roda-roda yang berjumlah enam diperlukan untuk menjaga kestabilannya. Panah Da Vinci raksasa ini melepaskan bola-bola berat, bukannya anak panah. Busurnya dibuat dari kayu-kayu yang lentur yang diikat kawat dan menempel di tempatnya oleh pin-pin yang bisa diputar. Bentangannya mencapai 13 meter dan ditarik oleh mekanisme baling-baling yang rumit. Da Vinci memasang kerek untuk mengatur traksi pada bagian belakang panah yang juga merupakan mekanisme baling-baling kedua, didesain untuk mengurangi tenaga yang dibutuhkan untuk mengencangkan panah saat digunakan.

15. Senjata untuk Mengepung


Model dari Da Vinci ini memperlihatkan sebuah mesin yang didesain untuk menyerang benteng-benteng pertahanan. Mesin ini terdiri dari sebuah struktur yang mudah dipindahkan dengan jembatan yang dipersenjatai yang disandarkan pada dinding benteng, sementara pasukan mencoba memasuki kota atau kastil. Da Vinci juga mendesain sistem klasik untuk digunakan dalam serbuan ke benteng-benteng kota musuh. Tangganya dibuat khusus dibuat dari roda-roda bergigi. Sebuah engkol memutar rodanya ke belakang dan ke depan yang mengangkat dan menurunkan tangganya.

Mitologi 9 Dewa Perang Jepang

Masih ingat binatang-binatang buas dalam Serial Naruto yang mempunyai Chakra luar biasa? Ya, binatang-binatang tersebut diambil dari mitologi 9 dewa perang jepang yang terkenal. Dalam mitologi jepang 9 dewa perang tersebut digambarkan dalam bentuk binatang ghaib yang memiliki kekuatan maha dahsyat. Kekuatan diurutkan dari besarnya chakra. Chakra sendiri dapat diartikan sebagai stamina atau inner will. Yang terlemah ditandai dengan ekor satu sedangkan yang terkuat ekor sembilan. Satu dewa dengan dewa yang lainnya tidak akur sehingga menimbulkan peperangan luar biasa. akibat peperangan ini rakyat sangat menderita. Peperangan ini dikenal dengan nama “The Ancient war of 9 Gods”. Di Jepang 9 dewa ini dinamakan Bijuu dan kabarnya roh-roh mereka disegel di 9 kuil di Jepang. Sampai sekarang pun Legenda ini masih kental dengan budaya jepang. Berikut ini adalah daftar Bijuu yang mengikuti perang kuno.
1. Shukaku
Shukaku adalah nama salah satu Bijuu yang berbentuk seekor rakun atau Tanuki dalam Bahasa Jepang. Dulunya Shukaku adalah seorang pendeta dari Nara yang berubah menjadi monster karena kekuatan Yamata no Orochi. Dia lalu berubah menjadi rakun raksasa. Kepribadiannya sangatlah konyol dan senang bermain-main, sama seperti rakun pada umumnya. Dia hidup dari jiwa orang-orang yang mati karena pasir dan angin. Tatto ungu diseluruh tubuhnya menandakan julukannya sebagai dewa angin.
Gambaran Tanuki yang konyol di masa kini telah dikembangkan sejak era Kamakura. Mereka digambarkan seperti anjing rakun besar dengan skrotum yang berukuran raksasa yang menggambarkan Tanuki dalam pandangan artistik yang deskriptif. Tanuki biasa digambarkan dengan testikel mereka yang menggantung di punggung atau dijadikan gendang. Tanuki biasa digambarkan juga dengan perut yang ekstra gendut. Perut mereka juga biasa digambarkan sebagai gendang yang ada di gambaran untuk konsumsi anak-anak di Jepang. Laporan lain mengatakan bahwa Tanuki ialah anggota masyarakat yang tidak berbahaya dan produktif. Beberapa kuil memiliki cerita tentang Tanuki yang bisa menyamar. Kisah yang populer salah satunya ialah Bunbuku Chagama yaitu seorang biksu yang ditipu Tanuki yang mengubah diri menjadi ketel teh. Ada pula yang mengatakan Tanuki sering menipu pemburu dengan menjadi ranting pohon dengan merentangkan tangannya dan menunggu pemburu menjauh dan menjatuhkan diri dari pohon. Terkadang Tanuki juga menipu para pedagang dengan menukarkan barang dengan dedaunan yang mereka sihir sehingga menyerupai uang. Ada juga yang mengatakan kalau daun adalah bagian dari ritual sihir mereka.
Peperangan Sembilan Dewa
Dalam hidupnya Shukaku bertarung sebanyak lima kali, satu kemenangan atas Sokou, 3 kali kekalahan melawan Isonade, Nekomata dan Raijuu. Shukaku melarikan diri melawan Yamata no Orochi.
2. Nekomata
Nekomata adalah sebuah makhluk dari cerita mitologi Jepang, dipercaya sebagai sebuah metamorfosis dari kucing peliharaan. Ia berasal dari Hutan Kematian di utara Hokkaido dan konon pertama kali ditemukan di Hutan Iblis Hokkaido, ia berasal dari Hutan Kematian (berbeda dengan hutan iblis) di utara Hokkaido. Bentuknya berupa monster kucing hitam raksasa, yang terkadang ditampilkan dengan dua sayap malaikat berwarna hitam yang besar. Dia adalah peliharaan Dewa Kematian. Nekomata hidup dari memakan mayat dan jiwa-jiwa orang mati.
Legenda mengatakan, awalnya Nekomata hanyalah seekor kucing peliharaan yang sering disiksa pemiliknya. Setelah si kucing mencapai umur sepuluh tahun, secara perlahan buntutnya akan terbelah menjadi dua bagian, bersamaan dengan meningkatnya kekuatan nujum (shamanism) dan sihir (necromancy) si kucing. Beberapa orang yang mempercayai ini biasanya memotong ekor kucing mereka karena takut berubah menjadi monster.
Nekomata memiliki berbagai macam ilmu sihir dan nujum, tetapi yang paling umum digunakan ialah membangkitkan orang mati dengan kehendaknya. Nekomata dikatakan dapat menciptakan dan mengontrol kematian dengan menggerakan buntutnya atau dengan gerakan kaki depannya. Nekomata memakan orang yang dibencinya, apabila pemiliknya lebih kejam, maka si kucing akan menjadi lebih sadis. Nekomata tidak akan pernah melupakan siksaan oleh seseorang dan akan menyimpan dendam selamanya pada orang tersebut. Bila orang itu sudah mati, maka kerabatnya akan didatangi oleh Nekomata dan dihantui terus menerus. Cara menenangkannya ialah memberikan penghormatan, permohonan maaf dan makanan.
Beberapa cerita rakyat Jepang juga mengatakan bahwa Nekomata dapat merubah bentuk tubuhnya menjadi manusia; bagaimanapun, tidak seperti kebanyakan nekomusume, Nekomata betina cenderung terlihat sebagai wanita tua, memiliki kepribadian buruk, dan selalu menebarkan aroma menyeramkan disekitarnya, yang jika dihirup dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan penyakit dan wabah.
Peperangan Sembilan Dewa
Dalam cerita mitologi Jepang perang sembilan dewa, Nekomata, yang memiliki simbol elemen kegelapan, mencoba untuk mendominasi peperangan. Ia membentuk Aliansi dengan Hokou untuk menyerang Kyuubi, namun usahanya gagal dan nyaris saja tewas dalam pertempuran. Dalam kondisi kritis, ia diselamatkan oleh dewa kematian. Dalam perang ini, Nekomata tercatat bertarung dalam tiga pertarungan;
3. Isonade
Isonade adalah sebuah makhluk dari cerita mitologi Jepang, berbentuk seperti hiu dengan tanduk di kepalanya serta memiliki tiga buah ekor dan tiga buah sirip, ia juga mampu mengendalikan air sesuai dengan keinginannya. Ia pertama kali ditemukan di perairan Yamagawa dan hidup di kedalaman perairan Jepang bagian barat. Setiap beberapa bulan dia akan keluar ke permukaan untuk menghirup udara. Ketika dia melakukan hal ini dia akan menimbulkan badai dan ombak di perairan sekitarnya, semua kapal didekatnya akan tenggelam dan kemudian dijadikan makanan oleh Isonade. Dia juga sering menyerang kapal-kapal yang berlayar di lautan bebas.
Isonade memiliki bawahan bernama Samehada yang hidup di dalam perut Isonade dan membantu menambah chakranya hingga lima kali besar. Makanan Samehada berasal dari sisa makanan yang dimakan Isonade.
Peperangan Sembilan Dewa
Dalam cerita mitologi jepang perang sembilan dewa, Isonade, yang memiliki simbol elemen air, mengalami empat pertarungan; dua kali menang (melawan Kaku dan Shukaku), satu kali kalah (melawan Nekomata), dan satu kali melarikan diri (saat melawan Yamata No Orochi). Setelah pertarungan, seorang nelayan sekaligus seorang pejuang yang berani dari Yokohama, Takuma Muramasa, mendekati Isonade kemudian menyegel Samehada ke dalam alat sihir guci hiu untuk disegel di dalam kuil air. Akibatnya, Isonade tidak dapat menggunakan chakra masif sehingga tidak membahayakan manusia.
4. Sokou
Sokou si ekor empat adalah sebuah makhluk dari cerita mitologi Jepang, berbentuk siput-setengah-ular yang konon tinggal di gunung Fuji, Jepang. Sokou memiliki empat buah ekor dan menyebarkan gas beracun disekitar tubuhnya. Awalnya, Sokou adalah ayam jantan dan ular yang menjalin kasih. Namun akibat pengaruh udara dan racun di pegunungan, kedua hewan itu menyatu dan menjadi besar. Karena berbahaya, seorang ahli ilmu iblis bernama Yamazaki Ishiro menyegel Sokou ke dalam alat dewa Kandang Bulan Berjaring di dasar gunung Fuji, Jepang. Hingga saat ini, beberapa orang masih beranggapan bahwa letusan di gunung Fuji disebabkan oleh dengkuran Sokou ketika sedang tidur.
Peperangan Sembilan Dewa
Sokou bertarung 4 kali, 3 kekalahan oleh Shukaku, Kaku dan Hokou. Sokou melarikan diri ketika berhadapan dengan Raijuu. Sokou memiliki kekuatan fisik terlemah diantara Bijuu. Tingkat chakra/stamina miliknya peringkat ke-6.
5. Hokou
Hokou adalah Bijuu yang berupa seperti anjing berekor lima. Setiap ekor makhluk ini merepresentasikan tiap-tiap kekuatan elemental: Api, Angin, Air, Tanah, dan Petir. Itu bisa mengakibatkan kerusakan dahsyat bila digunakan. Kemampuannya ialah menggunakan semua elemen maupun mengkombinasikannya. Setiap elemennya juga bisa menyebabkan bencana tergantung jenisnya. Hokou bermaksud menghancurkan alam untuk mendapatkan kembali lima elemen ini. Dia mengalami cedera berat ketika menantang Kyuubi berdua dengan Nekomata. Cukup aneh, dia adalah dewa ilusi. Hokou hidup di pohon besar yang sudah berumur panjang.
Peperangan Sembilan Dewa
Hokou bertarung 4 kali, 3 kali kemenangan didapat dari Sokou, Raijuu, dan Nekomata yang nanti akan menjadi sekutunya. Hokou mengalami kekalahan melawan Kyuubi, biarpun dia sudah dibantu oleh Nekomata, tetapi Kyuubi masih terlalu kuat baginya. Kekuatan fisik Hokou ada di peringkat ke 3 dan kekuatan chakra/stamina miliknya ada di peringkat ke-5.
6. Raijuu
Raijuu adalah Bijuu yang yang berbentuk seperti berang-berang, mempunyai 4 kaki dan kuku yang amat tajam. Bila meraung seperti guntur. Aslinya, dia adalah dewa petir, tetapi karena pengaruh kekuatan Yamata no Orochi dia berubah menjadi monster. Raijuu bisa mengeluarkan listrik dalam jumlah besar untuk keperluan pertarungan. Bulunya berwarna emas dan ujungnya berdiri. Memiliki enam ekor yang bentuknya seperti petir, seperti dewa petir kuno.
Raijuu juga digambarkan sebagai rekan Raiden, dewa guntur dari agama Shinto. Biasanya, Raijuu tenang dan tidak berbahaya, tetapi bisa menjadi buas dan agresif ketika terjadi badai petir dan mengenai apa saja di sekitarnya, batu, pohon bahkan bangunan (orang dulu bilang bahwa pohon yang tersambar petir terkena cakaran Raijuu).
Ada juga yang mengatakan Raijuu tidur di perut manusia. Ini membuat Raiden menembakkan panah ke perut orang-orang yang tidur untuk membangunkannya, yang bisa membuat orang kesakitan. Raijuu dulu tidur di perut orang-orang bila cuaca sedang buruk. Ada pula yang mengatakan bahwa Raijuu hanya tidur di perut orang yang sedang tidur di luar rumah.
Peperangan Sembilan Dewa
Raijuu bertarung 5 kali. Dia menang atas Shukaku dan Sokou, dan kalah oleh Hokou, Yamata no Orochi dan Kyuubi. Dia disegel oleh ninja bernama Sarutobi dengan menggunakan teknik Kinjutsu: Raikiri yang memotong petirnya dan mengembalikkannya ke Raijuu dan membuatnya terluka. Lalu Sarutobi menggunakan alat kekuatan “Penjara Petir Tersembunyi” dan menyegelnya di Kuil Petir.
7. Kaku
Kaku bisa juga dibaca sebagai “Mujina” adalah Bijuu berbentuk tupai. Kanjinya juga bisa dibaca sebagai Mujina, yaitu nama subspesies dari tupai (Meles Meles Anaguma) yang ada di beberapa tempat di Jepang. Dia berasal dari altar pengorbanan di pinggiran Nagoya. Kaku mempunyai tujuh ekor dan yang terkecil diantara para Bijuu, walaupun begitu dia adalah Bijuu terlicik dan paling “penyusup” dari sembilan Bijuu lainnya. Kaku memburu mangsanya dari dalam tanah sepanjang waktu. Dia membunuh dengan melongsorkan/menghancurkan bagian tanah dibawah mangsanya, membuatnya jatuh tepat di mulutnya yang sudah terbuka lebar. Di atas tanah, dia bisa berubah menjadi apa saja, asalkan dia mempunyai tanah liat. Tubuhnya berwarna biru.
Peperangan Sembilan Dewa
Dalam perang ini, Kaku bertarung 4 kali, dia menang atas Sokou, dan 3 kali melarikan diri dari Nekomata, Isonade, dan Yamata no Orochi. Walaupun tidak pernah kalah, tetapi dia melarikan diri 3 kali dari 4 kali pertarungannya. Walaupun tingkat chakra/stamina miliknya peringkat ke-3 (diatas Isonade dan Nekomata), tetapi dia lebih mementingkan kabur daripada bertarung. Mungkin disebabkan oleh kekuatan fisiknya yang rendah (peringkat ke-7). Tempat penyimpanan tanah liat miliknya ternyata telah diketahui oleh para pejuang dan dibakar. Kaku lalu tidak bisa berubah bentuk dan dikalahkan oleh pejuang pemberani Ikkyo Soujin, yang menyegel Kaku dengan alat kekuatan Sisa Altar Bumi yang disegel dalam kuil bumi.
8. Yamata no Orochi
Yamata no orochi sangat terkenal di jepang. Bahkan musisi kondang jepang KITARO mengubahnya dalam alunan lagu berjudul Orochi atau “The Dragon Way”. Yamata no Orochi adalah Bijuu berbentuk ular. Dia memiliki mata berwarna merah darah, delapan ekor dan kepala (juga digambarkan dililit oleh akar belukar dan semak) dan memiliki kekuatan dari dunia iblis, simbol kejahatan. Setiap kepala Orochi melambangkan simbol: jiwa, hantu, kejahatan, iblis, dunia setelah kematian, dan kematian. Kekuatan sebenarnya dari Orochi seharusnya tidak terlalu besar, bahkan cenderung lemah. Seorang anggota klan Kusanagi, ketika menyerangnya melakukan kecerobohan, menggunakan pedang legendaris Kusanagi no Tsurugi. Karena itu, sebagai konsekuensinya, Yamata no Orochi mengambil alih pedang itu dan menyerap kekuatan yang ada di dalamnya dan menjadi mahluk yang amat kuat, dan akhirnya menyimpan semuanya di dalam tubuhnya. Dengan kekuatan barunya, Orochi mengeluarkan kekuatan kegelapan yang amat besar sehingga membangunkan bijuu yang lain, dan menjadi arogan. Orochi mengalahkan banyak bijuu tetapi dia dikalahkan oleh Kyuubi. Alasannya sederhana: kekuatan Kyuubi tidak terbatas, membuat sebuah lubang pada Kusanagi yang bahkan Enma dan Sarutobi tidak bisa menggoresnya sedikitpun. Dalam legenda, dia menyamai Kyuubi dalam hal kekuatan, tetapi dia mempunyai batasan.
Panjang tubuhnya melebihi besar 8 gunung, dia adalah bijuu yang terbesar. Aslinya, dia lebih lemah dari Hokou dan Nekomata. Tetapi, itu 1000 tahun sebelum pejuang pemberani mencoba mengalahkannya dengan Kusanagi no Tsurugi. Dalam prosesnya pedang itu terserap oleh Orochi, lalu memperbesar kekuatannya secara masif. Setelah itu dia bebas menggunakan kekuatan pedang itu dari perutnya. Dia berasal dari medan perang kuno di Osaka. Kabarnya Yamata no Orochi disegel dalam tubuh Orochimaru. Ia sebenarnya sudah hampir diambil oleh Akatsuki, tetapi karena kekuatannya Akatsuki gagal mengambilnya dan Orochimaru pun keluar dari organisasi itu.
Peperangan Sembilan Dewa
Orochi bertarung 5 kali, menang atas Shukaku, Isonade, Kaku, Raijuu, dan kalah mengenaskan dari Kyuubi. Kemampuannya bisa memanggil roh-roh jahat dari dunia lain dan kekuatan dari Kusanagi. Kemampuan chakra/stamina dan fisiknya satu tingkat dibawah Kyuubi. Karena itulah Yamata no Orochi dianggap setan/iblis terkuat setelah kyuubi.
9. Kyuubi
Kyuubi merupakan Bijuu dengan bentuk rubah berekor sembilan dan merupakan yang terkuat diantara para Bijuu. Alasan kenapa dia sangat kuat amat sederhana: dia mempunyai chakra yang tidak terbatas, membuatnya pantas menyandang nama “Raja para Bijuu”. Kekuatannya berasal dari segel api miliknya. Setelah bertarung selama 100 tahun dengan Yamata no Orochi, segel itu menjadi kelelahan; tetapi Kyuubi masih bisa bertahan dan berdiri. Dia juga licik dan cerdas. Cara berbicaranya sangat sadistis dan sarkastik. Begitu pula kelakuannya.
Kyuubi no Yokou adalah Bijuu terkuat dalam Mitologi Jepang. Tubuhnya ditutupi bulu berwarna merah; Kyuubi melambangkan elemen api. Kemampuannya amat luar biasa. Karena belum pernah dikalahkan sekalipun oleh Youkai, kekuatan sebenarnya tidak bisa diukur. Ekornya mengeluarkan pusaran angin dengan cara diputar dengan cepat, satu hentakan ekor saja dapat menimbulkan gempa bumi dan tsunami, dan Kyuubi mampu merobek musuhnya dengan cakar raksasa miliknya. Bulu-bulunya bisa mengeluarkan bola api seperti meteor yang tak pernah habis, cukup untuk menghancurkan sebuah desa dengan cepat. Dalam peperangan 9 dewa, Hokou mengalami cedera parah, dan Nekomata hampir mati; bila tidak ditolong dewa kematian karena berani menantang Kyuubi. Yamata no Orochi bergantung pada Kusanagi no Tsurugi, pedang klan Kusanagi untuk mengalahkan Kyuubi, tetapi bisa dikalahkan dan mata pedang dari pedang tersebut menjadi retak. Padahal Sarutobi Sasuke, si ninja legendaris dan Enma si raja monyet tidak bisa menimbulkan goresan sedikitpun pada Kusanagi. Ini menggambarkan kekuatan Kyuubi yang luar biasa.
Peperangan Sembilan Dewa
Di suatu tempat, Kyuubi terus menerus membunuh orang-orang yang ada di jalannya untuk mencari siapa yang membangunkannya. Yamata no Orochi tidak memberitahu siapa yang telah membangunkannya, walaupun ternyata Yamata no Orochi sendiri yang telah membangunkannya. Kyuubi hanya bertarung 4 kali dan semuanya dimenangkannya, yaitu melawan Nekomata dan Hokou, Raijuu, dan Yamata no Orochi.
Secara berurutan dari Shukaku ke Yamata no Orochi, mereka juga punya nama lain yang berdasarkan angka dari jumlah ekor mereka.
Shukaku : Ichibi
Nekomata: Nibi
Isonade: Sanbi
Sokou: Yonbi
Hokou: Gobi
Raijuu: Rokubi
Kaku: Sichibi
Yamata no Orochi: Hachibi
dan Kyuubi yang juga disebut Yoko

Ni Pollok Tokoh Penari (legenda)

bung karno dan ni pollokNi Pollok adalah legenda penari Bali. Akan tetapi belum ada yang menyebutkan bahwa Ni Pollok juga memiliki andil cukup besar bagi pertumbuhan dunia pariwisata Bali. Kisahnya bermula dari momen tahun 30-an, saat ia menari legong. Satu di antara penontonnya adalah pelukis asal Belgia, Le Mayeur.

Kisah selanjutnya bak roman pujangga, Le Mayeur berkenalan dengan Ni Pollok, kemudian meminta kesediaannya menjadi model untuk dilukis. Gayung bersambut. Maka lahirlah lukisan-lukisan eksotis Le Mayeur. Sosok Ni Pollok tertuang ke dalam kanvas. Begitu natural hingga ke keadaan wanita Bali tahun 30-an yang tidak memakai penutup dada.

Le Mayeur kemudian memamerkan karya-karyanya di Singapura tahun 1934. Di sana, ia menuai sukses besar. Bukan saja semua karyanya terjual, tetapi melalui lukisan Ni Pollok, banyak warga dunia ingin berkunjung ke Bali.

ni pollok dalam lukisanSekembali dari Singapura tahun 1935, Le Mayeur melamar dan menikahi Ni Pollok. Dengan uang hasil penjualan lukisan-lukisannya, mereka membangun rumah yang sangat indah di kawasan Sanur.

Baiklah… lantas apa hubungannya dengan Bung Karno? Bung Karno adalah salah satu kolektor lukisan Le Mayeur. Bung Karno mengoleksi salah satu lukisan dengan model Ni Pollok yang tengah rebahan di dipan dengan latar belakang bunga-bunga aneka warna. Penutup dada? Ya, tentu saja tanpa penutup dada.

Bukan hanya mengoleksi lukisannya, Bung Karno juga berkenalan dan berteman baik dengan keluarga Le Mayeur, termasuk dengan Ni Pollok. Beberapa kali dalam kunjungannya ke Tampak Siring, Bung Karno menyempatkan singgah di rumah Le Mayeur.

ni pollok-2Bukan hanya itu. Bung Karno juga acap melakukan perawatan sendiri terhadap semua lukisan koleksinya. Termasuk lukisan Le Mayeur dengan model Ni Pollok yang eksotik itu. Walhasil, ketika salah satu sudut lukisan Ni Pollok ada yang rusak karena terkena kotoran codot, Bung Karno langsung memerintahkan Guntur putra sulungnya, untuk mengambilkan cat.

Ini kejadian di suatu hari di tahun 1964, seperti dituturkan Guntur. Bung Karno diiringi Guntur dan pengurus Istana, Pak Adung dan Pak Sueb, berkeliling ruang-ruang Istana memeriksa lukisan-lukisan yang rusak. Tiba di ruang makan keluarga, Bung Karno berhenti dan menurunkan lukisan telanjang Ni Pollok.

Bung Karno mulai mengaduk-campur cat untuk memperbaiki sudut lukisan yang rusak. Dan terjadilah dialog ini:

“Pak, bu Pollok di sini kelihatannya kok muda amat ya. Yang aku lihat waktu kita makan-makan di rumahnya di Bali kan sudah tua.”

“Biar tua, cantiknya tetap,” jawab Bung Karno.

“Doyan minum jamu barangkali.”

ni pollokBung Karno menukas, “Tak tahulah. Apalagi waktu mudahnya… teteknya besar dan bagus bentuknya.”

Guntur terkesiap, “Dari mana bapak tau?”

“Dulu zaman Belanda ada potretnya.”

Guntur makin penasaran, “Kalau yang di lukisan itu teteknya bagus nggak pak?”

Santai Bung Karno menjawab, “Bagus, buktinya codot juga ingin lihat-lihat, sampai … o’ok.”

Usai memperbaiki lukisan Ni Pollok, Bung Karno melanjutkan inspeksinya ke ruangan-ruangan yang lain. Meneliti satu demi satu lukisan masterpiece yang terpajang